Diwarnain dulu hayooo bintangnya.
Selamat berfantasi!Mahes tersenyum kecil. Menyaksikan bagaimana Gia rapuh seperti saat ini merupakan suatu hal yang diam-diam Mahes syukuri. Bersyukur karena Gia memilihnya untuk dijadikan tempat bersambat. Hatinya berteriak mengungkapkan rasa sesal karena mengusir Gia secara kasar tiga hari lalu. Menjuluki temannya ini sebagai pengganggu yang tidak berarti apa-apa untuknya.
Masih dengan jari jemari yang sibuk mengusap rambut panjang Gia, Mahes mengangguk. Belajar untuk memahami semua lara yang membayangi Gia. Mengerti semua hal yang Gia tidak pernah ceritakan pada siapa-siapa selama ini.
"Lupa gue pernah bilang apa, ya? Nangis aja, Gi. Nangis nggak ada sal-eh! Hahahaha ...." Mahes tertawa cukup keras, ketika Gia menubruk tubuhnya dengan cepat. Menyembunyikan wajahnya pada dada bidang Mahes. Membiarkan semua air yang tertahan tumpah di sana, terisak dengan bebas tanpa malu lagi.
Sembari menenangkan, Mahes mengusap punggung Gia dengan gerakan teratur dan menyandarkan kepalanya kepada kepala Gia. Tersenyum kecil dengan mata yang berkaca-kaca. Tangisan dan racauan yang keluar dari ranum Gia ternyata sampai pada Mahes. Membuat laki-laki dengan surai kecoklatan itu semakin sakit.
"Gi-Gia mau bahagia lagi, Mahes .... Mau kumpul lagi sama Mama dan Papa. Mau jalan-jalan bertiga lagi. Ng-nggak mau ditinggal. Gia kang-kangen Mama ...," lirih Gia sembari terisak dan sesenggukan. Mengaduh pada Mahes, mengungkapkan semua yang terpendam selama ini.
Gia tidak mau pura-pura kuat lagi. Rasanya sakit sekali.
"Gi," panggil Mahes dengan nada lembut. Ia melepaskan pelukannya pada Gia, menangkup wajah kecil gadis itu dan membersihkan semua air mata pada pipi Gia. Menatap mata kehijauan Gia yang membengkak dengan saksama. Tersenyum penuh arti, memberikan hangat untuk temannya yang saat ini sedang berduka.
"Lo sendiri, kan, yang bilang ke gue? Kadang, nggak semua hal bisa jadi punya kita. Nggak semua hal bisa berjalan sesuai maunya kita. Ada saatnya kita harus sedih, kayak sekarang ini. Gue sama gagal dan lo sama sepi."
Gia mengerjap perlahan. Membiarkan matanya memandangi Mahes dengan puas. Menikmati senyuman Mahes yang terlampau meneduhkan.
"Mau belajar bareng nggak, Gi? Belajar ikhlas, belajar nerima semuanya walaupun nggak gampang, belajar berdamai sama keadaan. Gue yakin, kalau kita mau damai sama masa lalu, lukanya nggak akan sakit lagi. Belajar untuk sembuh. Sama gue." Mahes berucap dengan sungguh-sungguh. Menghapus semua benteng gengsi yang selama ini selalu ia pasang tinggi-tinggi ketika harus berhubungan dengan Gia.
Mahes memulai hal baru. Mengajak Gia untuk sama-sama membasuh, mengobati hati mereka yang terluka, dan kembali untuk bahagia.
Tidak ada tutur apapun yang keluar dari mulut Gia. Gadis ini masih mengerjap karena terkejut. Tatapan meneduhkan Mahes membuat jantungnya berdebar tiga kali lebih cepat dari biasanya. Ada perasaan aneh yang Gia tidak tahu harus menamainya apa.
Bahkan, kala Mahes berpaling untuk kembali menikmati langit khas pukul dua belas, Gia masih tidak bergerak. Masih mengarahkan atensinya pada Mahes sembari menarik napas kuat untuk menghilangkan air hidung.
Semua kalimat yang muncul di dalam pikiran, mendadak tertahan tidak dikeluarkan. Membiarkan angin malam milik Menteng mengisi kekosongan yang terjadi di antara mereka. Gia dan Mahes memutuskan untuk berdiam diri selama beberapa menit. Menetralkan suasana hati sejenak, mengambil waktu untuk menarik napas dalam, sebelum kembali merajut kata untuk membunuh sepi.
Tepat ketika Gia ingin memandang ke arah langit, Mahes tersenyum dengan lebar. Membuat Gia mengurungkan niatnya untuk melihat angkasa. Memilih untuk melihat senyum milik temannya yang jauh lebih indah dari apapun.

KAMU SEDANG MEMBACA
Merakit [Revisi]
Teen Fiction"Gue pernah baca qoutes dari penyanyi terkenal di Korea." Di atas atap rumah keluarga Smith, Gianina dan Mahesvara duduk berdampingan. Memandangi ribuan bintang yang malam ini menghiasi angkasa milik Jakarta. Gianina mencondongkan tubuhnya ke arah M...