"Semoga aku masih bisa melewatkan masa separuh putaran bumi. Jalanku 'tak panjang mungkin untuk bisa menuai waktu bersama dirimu."
Jeongguk
"Kamu ngilang seperti maling yang ketahuan polisi." Suara mendayu Jimin jadi pengiringnya masuk ke kamar anak itu lewat pintu yang dibuka. Di setelan celana kain kombor yang pendek dan kaos kebesaran, Jimin otomatis tenggelam seperti anak SD yang pinjam baju orang tuanya karena bajunya basah semua. "Kenapa, sekarang? Ada yang ketinggalan di kamarku?" Tanyanya kemudian.
Jeongguk cuma menjawab dengan gelengan.
Kedua tangan anak itu sibuk dengan tumpukan buku dan mulai menatanya kembali ke rak-rak yang kosong. Beberapa yang sudah ia siapkan untuk esok hari, sengaja disingirkan supaya bisa masuk ke tas, sebelum berangkat. Dilihat dari serpih-serpih penghapus dan pena yang masih berceceran di atas meja, mungkin Jimin baru saja selesai belajar. Meski Jeongguk sudah memperkirakan kalau bakal kemari waktu Jimin sudah terlelap, nyatanya yang titemui jusru seperti orang baru mandi.
"Maaf pergi tidak pamit," gumam Jeongguk.
Suara gesekan benda tumpul yang tadinya gaduh, kini berhenti pelan-pelan. Atensi Jimin yang awalnya seakan tidak peduli, sekarang berubah seperti orang terkejut yang bakal melepas kawan pergi perang. Remangnya lampu ruangan tidak membuat Jeongguk kesusahan melihat ekspresi anak itu. Justru lebih jelas dari biasanya. "Apa ada masalah yang harus diselesaikan?" Tanya Jimin. Tubuhnya duduk di kursi meja belajar sambil diam menunggu lawan bicaranya bersuara.
"Justru mau minta ijin."
"Buat?"
"Masuk ke mimpi kamu."
"Okay," jawab Jimin singkat. Seakan anak itu tidak keberatan sama sekali.
"Tidak ada syaratnya?"
"Aku boleh tanya?"
Wujud Jeongguk yang berupa manusia dengan pakaian Kraton lengkap, kini duduk di ujung kasur. Berhadapan dengan Jimin yang duduk di kursi. "Boleh," jawabnya enteng.
"Yang aku lihat itu namanya Gustaaf Willem Baron van Imhoff, kan?"
"Yang mana?"
Jimin menghela napas. Mungkin sebal. "Yang aku pernah cerita kalau lihat orang di dapur." Ia memutar badan supaya bisa berhadapan dengan lawan bicaranya.
"Oh." Jeongguk manggut-manggut. "Iya. Itu Imhoff."
"Kenapa kamu langsung menghilang waktu aku beritahu kalau lihat dia?"
Kini giliran Jeongguk yang menghela napas. Ia tahu bakal menjelaskan sejarah panjang mulai dari geger yang terjadi di dalam Mataram sampai pecahnya jadi dua. "Di buku sejarahmu tidak dibilang kalau dia yang jadi faktor utama Mataram punya selisih paham?"
"Diceritakannya cuma dia Gubernur yang tidak suka kebijakan Adriaan yang tiba-tiba membantai kaum Tionghoa."
Jeongguk jadi merasa bodoh. Justru sejarah itu tidak dijelasakan di buku materi sekolah, seingatnya. "Kok, malah lebih banyak tahu, kamu?"
"Aku baca di buku sejarah yang ada di perpustakaan."
"Oalah." Meski cuma sedikit, Jeongguk merasa lega karena masih jadi saksi hidup yang punya ingatan solid soal perdebatan antar Pakubuwana dan Mas Said. "Imhoff itu orang yang membuat Mas Pringgalaya jadi punya keyakinan kalau memberi tanah tiga ribu cacah ke VOC itu benar."
"Tiga ribu cacah?"
"Iya."
"Itu berapa hektar?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Adhiyaksa
Fanfiction[ COMPLETE ] : KookMin [ Sudah dibukukan ] Indonesian Mythology fanfiction. Abinawa - full version. Bercerita soal Jimin dan Jeongguk. Bertemunya dua insan beda wujud, dua raga beda pijak, dan dua jiwa satu prasangka. Note: Banaspati adalah sosok r...