13

522 117 62
                                    

 "Mungkinkah kau mencintai diriku selama-lamanya hingga maut memisahkan?"


Jeongguk

Raup wajah dalam tidur Jimin kadang membuat Jeongguk menduga-duga. Apa gerangan yang dimimpikan pemuda yang beranjak dewasa ini. Mungkin bunga tidur yang indah sampai enggan bangun di pagi hari, atau justru kilas balik kenangan buruk yang menimpanya di dunia.

Setelah diijinkan pakai wujud manusia dan merebahkan diri di samping Jimin yang hendak terlelap, Jeongguk seperti diberi lampu hijau untuk melepas formalitas yang selama ini ia pegang teguh. Keyakinan kalau tidak boleh berbuat seenaknya di rumah orang meski sudah jadi setan, dibawanya sejak lahir. Dididik ketat di keluarga Kejawen membuatnya tumbuh dengan batas-batas privasi tinggi.

Bentuk bongkahan api yang selama ini ia gunakan waktu menunggui Jimin juga tidak boleh mengganggu yang empu kamar. Sekuat apapun egonya untuk berbuat semaunya, Jeongguk tetap tidak ada hak atas pemuda ini. Menjadi pelindungnya dari gangguan makhluk lain adalah keputusan yang ia buat sendiri. Jimin tidak mengambil tanggung jawab apa-apa selain memberinya ruangan dan melihat piring di atas kulkas kosong. Tidak menyisakan satu hidanganpun.

"Ban."

Jeongguk mengerjap-ngerjap kebingungan. Ia sudah ada di samping Jimin selama dua jam dan tidak melihat anak ini berganti posisi sama sekali. Tidak mungkin kalau cuma pura-pura tidur saja. "Ora turu, kowe (Tidak tidur, kamu)?" Tanyanya.

"Ketangen (Tidak sengaja terbangun)."

"Kenopo (Kenapa)?"

"Mau pindah posisi."

"Ya, pindah saja."

"Tapi ada kamu."

"Anggap saja tidak ada." Jeongguk mencengkeram perut, menahan tawa. "Kan, biasanya juga begitu."

"Biasanya kamu cuma api, di dekat jendela."

"Kalau kamu tidak nyaman, aku bakal jadi api lagi." Masih setengah jalan tubuh Jeongguk bangkit, lengannya ditarik kembali ke kasur. Membanting badannya secara tidak sengaja. Jeongguk menghela napas panjang sebelum berbisik, "Tidak mau?"

Dalam kegelapan masih bisa Jeongguk lihat siluet Jimin menggelengkan kepala. "Aku tidak bisa tidur lagi. Jadi disini saja biar bisa mengobrol," katanya. "Tidak apa-apa, kan?"

"Iya."

"Aku tiba-tiba berpikir," ujar Jimin. "Kalau tugasmu sudah selesai, apa kamu bakal menghilang?"

"Mungkin."

Jimin diam saja. Deru napasnya masih terdengar menembus udara. "Tidak bakal kembali? Sama sekali?"

"Belum tahu." Jeongguk masih tidak bosan memandangi wajah bocah yang ada di sampingnya. "Dari awal, tujuanku cuma satu dan belum terpenuhi sampai sekarang. Jadi kalau sudah selesai, aku tidak tahu bakal kembali ke Tuhan atau tetap di dunia."

"Jadi abadi, bukannya lebih menyenangkan?"

"Aku juga berpikir begitu, dulu, waktu masih jadi manusia."

"Terus?"

"Kalau sekarang, aku netral saja."

"Jadi kamu ikhlas saja sama semua kejadian?"

"Setiap hal ada sisi positif dan negatif. Jadi tidak mungkin aku bilang kalau jadi abadi itu selamanya menyedihkan atau selamanya menyenangkan." Jeongguk bangkit duduk. Menyandarkan punggungnya di tembok. "Kalau kamu tanya apa tidak sedih ditinggal orang yang aku kenal, jawabannya tidak."

AdhiyaksaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang