5

681 153 67
                                    


"Tak ada satupun yang mungkin bisa terima kau seperti aku. Kumohon jangan salahkan aku lagi. Ini aku yang sebenarnya."


Jeongguk

Kediaman megah yang senyap jadi tempat favorit Jeongguk untuk berteduh atau sekadar istirahat. Dari semua bangunan yang pernah ia singgahi, cuma kali ini ia mampir ke rumah yang jadi tugasnya membinasakan sekaligus.

Dibalut cat warna kelabu, beberapa jendela terbuka, dan lampu yang menyala hampir seluruhnya, hunian itu kelihatan nyaman. Tidak terasa lembab atau terlalu panas. Ini tempat paling strategis yang bakal Jeongguk acak-acak, sebentar lagi.

Kedua tangannya saling menggosok, mencari kehangatan di tengah malam yang sunyi. Jeongguk bisa lihat dari kaca jendela salah satu ruangan paling depan. Laki-laki paruh baya yang sibuk dengan kertas-kertas dalam tumpukan map warna-warni. Dalam genggaman tangan kanan, pria itu muncul suara. Jeongguk menduga kalau sedang berlangsung acara menelfon antar client yang intens. Dari gestur mondar-mandir sampai suara nyaringnya yang menggema waktu bulan masih tinggi di angkasa, sudah kentara.

Hempasan napas Jeongguk membumbung melewati wajahnya. Ia bisa rasakan kalau udara itu hangat. Meski nyatanya, tidak bernapas pun, ia masih bisa ada. Tidak perlu repot-repot meleburkan diri jadi sama seperti wujudnya sebelumnya, jadi manusia. Beberapa orang juga bakal tahu kalau makhluk yang bisa mencapai hampir kesempurnaan seperti dirinya, tidak perlu membohongi siapa-siapa. Toh, Jeongguk tidak kemari untuk mengelabuhi orang. Ia disini untuk misinya yang lain. Lewat seseorang yang membawakannya satu jiwa murni untuk dimakan. Lezat.

"Pokoknya, aku mau selesai minggu depan," teriak pria itu dari balik jendela kamar. "Kalau ndak bisa, aku yang obrak-abrik kantormu."

Ujung jari tengah dan kedua jempolnya saling bertemu. Membentuk sebuah siluet yang mirip dengan tangan wayang jawa. Ia bergumam, "Nga tha ba ga ma, nya ya ja dha pa, la wa sa ta da, ka ra ca na ha." Disusul dengan beberapa aji-aji lain, Jeongguk melangkah meninggalkan lokasi. Berjalan santai sambil pelan-pelan mengambil wujudnya sebagai bongkahan api yang mirip dengan nyala kompor. Di sela warna kebiruan, muncul percik putih dengan jelaga hitam yang membumbung tinggi.

Ia tahu apa yang sudah ia perbuat. Satu minggu dari sekarang, kabar soal laki-laki itu memuntahkan metal dari dalam tubuh dan menghancurkan dirinya sendiri, bakal ia dengar.

...

"Het kalf." Sosok Adrian benar-benar bisa membuat makan malam Jeongguk tidak enak sama sekali.

Semangkuk mie rebus bercampur telur setengah matang, serta teh hangat yang baru saja disajikan jadi terasa hambar seperti orang sakit tifus. Tidak berasa apa-apa dan cuma menumpang lewat kerongkongan. "Berapa kali aku kudu (harus) bilang? Te lawaaierig," tegas Jeongguk. "Mie ini bisa aku tumpahkan ning ndasmu (di kepalamu)."

"Berapa kali aku bilang juga kalau jangan terima tawaran dari manusia buat mengirim santet ke rumah orang." Tubuh Adriaan yang tinggi besar didudukkan di atas kursi kayu, di seberang Jeongguk. Mungkin pria itu juga menyamar sebagai manusia karena sekarang cuma pakai setelan kaos oblong bergambar partai Demokrat dengan nomor 1 yang dicoblos. Celana pendek kainnya menambah kesan santai yang sepertinya kurang cocok di darah Eropa nya.

"Bukan urusan kamu." Jeongguk kembali memakan mie nya yang masih mengepulkan asap. Bibirnya monyong-monyong meniup tumpukan mie di atas garpu.

"Kamu tahu, siapa yang kamu ambil nyawanya?"

"Tidak mau tahu."

"Nama keponakannya NamJoon." Adriaan tidak peduli dengan sifat tidak acuh Jeongguk. Justru seolah-olah seperti disuruh bersuara. "Psikolog."

"Tidak ada hubungannya dengan aku." Terdengar bunyi cipratan air dan benda tumpul di atas mangkuk.

"Dia stress mencari tahu korelasi antara sakit badan, otak, dan ulahmu yang bikin pamannya muntah paku," pekik Adriaan.

"Asu," umpat Jeongguk. "Cangkemmu kae, lho (Mulutmu itu, lho)." Sambil menahan kesal, kaki Adriaan yang sekarang menapak tanah, Jeongguk tendang keras-keras. "Kalau aku dikejar satu kampung, kamu yang salah."

"Sorry," bisik Adriaan.

"Nek njaluk sepuro wae alon (Kalau minta maaf saja pelan(suara))." Punggung Jeongguk disandarkan ke kursi. Merasakan seluruh badannya merenggang karena sudah dalam posisi serupa lebih dari dua puluh menit lamanya. Manik matanya yang sekelam malam dengan percik kemerahan, memandangi langit-langit warung dua puluh empat jam di pinggir jalan ini. Mencar-cari kalau saja ada laron yang menempel di lampu. Mengingat sekarang sudah masuk musim hujan. "Sekarang, kan, pergi ke Solo?"

"Ja(19)." Adriaan mengangguk.

"Jadi apa dia sekarang? Setan biasa?"

"Hitam tapi tidak sekuat Banaspati."

Entah ini dimaksudkan sebagai pujian supaya Jeongguk besar kepala atau murni karena Adriaan menjelaskan suasana. Keduanya tidak ada bedanya. Adriaan adalah Adriaan. Seseorang yang berusaha mempertahankan KKN di dalam VOC. Imhoff punya niatan baik untuk mengembalikan sistem ke keadaan semula tapi tetap saja. Kalau saja VOC tidak ada. Kalau saja Mataram lebih erat dan tidak sampai bisa diadu domba. Kalau saja semuanya masih ada di bawah nama Raden Mas Jatmika.

"Tidak bakal ada habisnya, Het kalf." Adriaan seperti memperingatkan.

"Kamu itu musuh atau lawan?" Tanpa melihat sosok yang dituju, Jeongguk melontarkan pertanyaan.

"Kamu bertanya ke aku yang manusia atau setan?"

"Apa bedanya?"

Tubuh Adriaan condong ke depan. "Apa bedanya Jeon Jeongguk yang jadi satu dari beberapa murid teladan di Mataram dan Jeon Jeongguk yang suka membunuhi orang dengan wujud Banaspati, sekarang?"

Jeongguk berpikir sebentar. "Cuma tugasnya."

"Cuma?" Adriaan terkekeh. Wajah tegasnya sengaja mengejek. "Kamu berubah dari tameng jadi tombak."

"Aku masih tameng untuk negara ini," sanggah Jeongguk. "Apa dalihmu?"

"Adriaan yang manusia adalah yang paling ingin aku binasakan."

Jeongguk diam saja. Tidak mau menyela atau memberikan tanggapan lain. Tubuhnya pelan-pelan berdiri dan berjalan ke sosok pemuda yang ada di balik etalase. Seakan sengaja menunggu dirinya untuk membayar. "Pinten (Berapa), mas?" Tanyanya sambil menarik dompet dari balik badan.

"Sedasa (Sepuluh)," jawab pemuda yang kelihatan masih berumur tujuh belas tahun itu. "Rencange, nggih (Temannya, ya), mas?"

"Pundhi (mana)?"

"Niku (itu)." Telunjuk pemuda itu mengarah ke Adriaan yang melihat-lihat jalan raya. Pandangan matanya menuju sepeda motor bebek 80 an yang terparkir di pinggir. "Wong Londo."

"Mas e saget ningali (Masnya bisa melihat)? Lelembut niku (Makhluk halus itu)." Setelah menarik lembaran uang sepuluh ribu dan diletakkan di atas etalase, ia melanjutkan, "Kula pisan ­(Saya juga)."

Tubuhnya pelan-pelan dimakan kobaran apinya sendiri. Muncul dari balik badan dan meninggalkan sang pemuda yang lari berbirit-birit mengabaikan kedai tokonya yang buka tanpa pelanggan lain.

...

(19) ja: Iya (Bahasa Belanda)

Note: Tolong jangan dipraktekkan mantra santetnya, ya. Itu sebagian dari mantra santet sungguhan. Jadi mantranya ada beberapa kalimat lain tapi engga aku sebutkan semuanya. Sebagian adalah aksara hanacaraka yang dibalik.

AdhiyaksaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang