15

498 126 50
                                    

"Ku berharap engkaulah jawaban segala risau hatiku dan biarkan diriku mencintaimu hingga ujung usiaku."

Jeongguk

Gelap ruangan tidak membuat pandangan Jeongguk kesulitan menangkap bayangan orang yang jadi targetnya, sekarang. Sepasang suami istri yang tidur nyenyak sambil ditemani denting jam dinding.

Tidak kurang-kurang Jeongguk hitung orang di dalam rumah yang ia singgahi. Satu anak perempuan tidur di kamar lain. Beberapa pasang foto menunjukkan betapa harmonisnya keluarga yang tengah terlelap. Satu foto anak lelaki dipajang besar di ruang tengah. Tidak Jeongguk temui dimana-mana yang punya wajah. Mungkin sedang bepergian senditri atau menginap di rumah kawan semalam.

Menjadi titik api memudahkannya untuk menembus celah-celah sempit. Kembali mengambil bentuk manusia waktu sudah sampai di dalam kamar. Semenjak perjalanan kemari, ia tidak bertemu dengan Adriaan. Berarti laki-laki sepuh itu tidak bakal mengoceh kalau Jeongguk kembali mengambil kontrak dengan manusia.

Tubuhnya berputar-putar di dalam kamar yang bukan miliknya. Bernuansa minimlis dan minim perabotan. Satu gelas air putih diletakkan di atas nakas. Tepat ada di depan cermin. Siapapun yang bakal bangun duluan, tidak bakal bisa melihatnya kecuali fokus memandangi cermin. Di benda tipis itu, baik yang gaib atau yang bukan, semuanya punya pantulan. Tidak heran kalau siapa saja bakal berteriak tiba-tiba waktu berkaca.

"Nga tha ba ga ma.." Jeongguk menggantung kalimatnya. Melirik pintu yang berderik di balik badan. Muncul sosok perempuan mungil yang mengusap-usap kelopak mata. Tanda kalau bangun tidur. Manik mata kecokelatan sang gadis memandanginya selidik. Mau tidak mau, Jeongguk harus mengecoh terlebih dahulu. "Nduk (Panggilan untuk anak perempuan)," bisiknya sambil berjalan mendekat.

"Kang mas sinten (Mas siapa)?" Tanya perempuan cilik itu.

"Demit (Setan)," kata Jeongguk. "Kamu balik tidur lagi, ya. Papa sama mama mau pulang."

Gadis itu mengangguk. Mungkin tidak punya waktu mencerna kalimat akibat terlalu mengantuk. Tubuh kecilnya pelan-pelan meninggalkan ruangan dan berjalan kembali ke kamar miliknya, di samping ruang keluarga.

Kedua tangan Jeongguk merentang sebelum disatukan. Menepuk udara di depan wajah dan mencengkeram erat seperti menggenggam pasir. Semakin kuat, semakin bisa ia rasakan udara mulai menghilang. Percik-percik jelaga mampir ke balik badan. Memunculkan jilatan api tinggi-tinggi berwarna merah terang. Manik matanya memperhatikan dua jiwa yang bakal menjadi santapannya juga, malam ini. "Nga tha ba ga ma, nya ya ja dha pa." Setiap kalimat yang diucap, membentang di sekitaran badan. Berputar serupa kalimat yang ada di perisai emas Jeongguk sendiri. Dari aksara nga sampai ha. Bertuturan pula mantra lain yang jadi pelengkap.

Sang suami terbangun waktu mendapat hantaman telak ke arah jantung. Sedang sang istri membelalak merasakan sakit di kepala yang tidak bakal berhenti sampai ajal tiba. Keduanya berteriak kesakitan seperti orang kesetanan.

Jeongguk meninggalkan ruangan dengan wujud setitik api lagi. Tidak mau mengambil risiko ketahuan dan menjadikannya diburu. Terlampau sia-sia saja. Sudah jadi setan tapi malah buron seperti maling. Jangan sampai.

...

Seaneh apapun kelakuan Jimin waktu ditemui, baru dua kali ia melihat anak itu murung. Meringkuk di pojok kelas setelah pulang sekolah. Ia seperti tidak mau diganggu dan memilih untuk menyendiri beberapa menit saja sebelum kembali ke rumah.

"Nyapo kowe ning kene (Ngapain kamu disini?" Tanya Jeongguk. Mungkin kehadirannya yang masuk lewat pintu depan, tidak terlalu diindahkan pemuda di atas bangku itu. "Ora balik (Tidak kembali (pulang))?"

AdhiyaksaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang