22

453 126 93
                                    

"Usap air matamu. Dekap erat tubuhku. Tatap aku sepuas hatimu."

Yogyakarta, 2020

Jeongguk

"Ayo. Katanya mau jadi Banaspati? Begini saja menyerah?" Jeongguk kembali menyodorkan satu kembang sedap malam untuk bisa Jimin kunyak. Meski pemuda di hadapannya sudah nyengir-nyengir akibat menahan pahit.

Kalimat ejekan memang selalu berhasil membuat Jimin bangkit lagi. Ia berdiri dari posisi duduknya di atas karpet. Menyabet semua sisa bunga di genggaman Jeongguk dan ia masukkan ke dalam mulut. Dikunyah pelan-pelan sambil menahan dan ditelan. "Bagaimana? Sudah semuanya, kan?" Tantangnya. Tersirat nada bangga disana.

"Bocah goblik." Jeongguk setengah mati menahan diri untuk tidak tertawa. "Kalau kamu makannya begitu, terhitung cuma satu."

"Ha?" Jimin memekik. "Asu!" Teriaknya membahana. Tidak peduli kalau ada di kediaman Jeongguk dan bisa saja ada Taehyung atau kawan lain yang datang. "Jadi bagaimana? Harus mengulang?" Tanyanya takut-takut.

"Iya."

"Ya, Tuhan."

"Besok kita coba lagi."

"Batasnya berapa hari?"

"Sampai apa?"

Jimin jadi bingung. "Sampai aku bisa makan semua kembangnya dan langsung jadi Banaspati. Kenapa tidak instan saja, sih? Heran."

"Kowe lungguh sek (Kamu duduk dulu)." Telapak Jeongguk menepuk-nepuk bagian karpet yang kosong. Membuat Jimin menurut saja. "Jadi Banaspati, prosesnya tidak sesedehana kamu nggodok (merebus) mie. Ada makan, bertapa, mandi di sumber, mengumpulkan benda-benda dari Banspati lain, terus kamu nanti dibakar di api."

Manik mata Jimin membelalak tidak percaya. "Tidak mati, apa? Banyak sekali tahapnya. Yang terakhir yang paling tidak masuk akal. Manusia mana yang bisa selamat kalau dibakar?"

Jeongguk menunjuk dirinya sendiri. "Aku bisa," katanya.

"Sombong."

"Bukan sombong, wong kenyataan, kok."

"Menyerah saja, lah." Jimin pasrah. "Aku tidak mungkin bisa kalau sampai dipanggang begitu." Ia bersandar di pundak Jeongguk. Mencoba mencari tenaga tersisa. Mengais-ngais sisa energi yang ada. "Mau tanya, boleh?"

Setelah menanam kecup di puncak kepala sang kekasih, Jeongguk menyeruput kopi yang sudah mendingin. "Boleh. Mau tanya apa?"

"Taehyung tidak di rumah?"

"Dia biasanya ada di Solo."

"Lama?"

"Biasanya satu minggu."

"Dengan siapa dia disana?"

"Dengan pacarnya."

Jimin buru-buru bangkit. "Pacar?" Tanyanya. "Dia sudah punya pacar? Yah, sayang sekali. Padahal ganteng."

Jitakan diterima kepala Jimin. Tidak terlalu kencang karena Jeongguk juga tidak begitu tega dengan kekasihnya. "Kowe ki duwe pacar sisan. Ora usah macak jomblo (Kamu itu punya pacar juga. Tidak usah berlagak jomblo)," katanya. "Mereka pacaran sudah lama. Jangan jadi pelakor."

"Siapa yang bilang, aku mau jadi pelakor?" Jemari Jimin mengusap perlahan pelataran kepalanya yang masih nyut-nyutan. "Siapa namanya?"

"Wendy."

"Cantik?"

"Cantik. Cantik sekali."

Giliran Jeongguk yang mendapat sikutan di area perut. Perih mendera akibat lukanya yang belum sepenuhnya sembuh. "Kan, kamu tanya? Ya, aku jawab," kilahnya. "Mereka mantan murid Multatuli."

AdhiyaksaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang