"Mataku terus pancarkan sinarnya."
Jimin
Beberapa hal menyapa pengelihatan Jimin waktu pertama membuka mata. Tetes air goa yang menggema, sinar matahari terik yang pelan-pelan muncul dari ufuk timur, dan tubuh Jeongguk yang meringkuk di samping batu besar yang dijadikan Jimin tempat untuk menghabiskan 40 hari waktunya disini.
Setiap kalimat yang dilontarkan beberapa orang mulai menggenang di permukaan pikiran. Beberapa mungkin hasil dari mutasi overthink yang dibawanya kemari. Mulai dari percakapan ringan Yugyeom dan Bambam sebelum Jeongguk datang, beberapa ada suara perempuan yang Jimin tidak kenal. Asing. Lebih tinggi dari suara Wendy.
Ujung jemari nya bersentuh dengan surai Jeongguk yang mengombak. Sudah panjang dan melebihi batas bahu. Setelan abdi dalem Kasunanan Surakata dengan kemeja hitam nya sudah melekat. Tanda kalau pemuda ini tidak pakai cangkang apa-apa, sekarang.
Setelah sensasi dingin kulit Banaspati itu bersentuh dengan hangat Jimin, baru yang punya rambut bangun. Buru-buru duduk dengan mata melotot karena kaget. Menoleh kesana-kemari sampai bertemu pandang dengan Jimin yang sudah hampir tertawa. Terlampau jarang Jimin melihat kekasihnya panik. Bahkan hampir tidak pernah. Semua kejadian seperti sudah diprediksi di dalam otak setan ini.
"Sugeng injing (Selamat pagi), Jeongguk," kata Jimin, "apa ritual selanjutnya itu aku langsung dibakar?"
Alih-alih mendapat jawaban, tubuh Jimin ditarik ke dalam pelukan. Kencang betul sampai ia jadi sesak dan hampir habis napas. Meski sudah menepuk-nepuk punggung Jeongguk, laki-laki ini menolak untuk mengendorkan kedua lengannya barang sebentar. Benar-benar tidak tahu kalau tenaganya bukan seperti manusia karena ia memang bukan salah satu nya.
"Jeongguk," bisik Jimin di samping kuping, "kenapa? Ada apa waktu aku tidak bangun?"
Yang namanya disebut cuma menggeleng. Ujung hidung nya bisa Jimin rasakan mengendus ceruk leher. Mencari-cari tempat nyaman untuk bersandar.
"Kamu ini kenapa?" Telapak Jimin mengusap-usap punggung sang kekasih dengan hati-hati. "Aku, kan, tidak kemana-mana? Kamu seperti orang yang mau ditinggal jauh saja."
Wajah lesu Banaspati itu kelihatan lebih letih dari biasanya. Aura di sekitarnya juga bertambah berat. Entah apa yang sudah Jimin lewatkan. Mungkin Jeongguk baru saja makan orang lagi.
"Habis darimana, kamu?" tanya Jimin.
"Tidak dari mana-mana." Jeongguk akhirnya bersuara juga. "Kenapa?" tanyanya.
"Kelihatan sedikit beda. Apanya, ya?" Jemari Jimin menggosok dagu. Mencoba mencari jawaban dengan memandangi Jeongguk dari atas kepala sampai ujung kaki. Mulai rambutnya yang sedikit berantakan sampai ke jarit panjang yang Jeongguk kenakan. "Kalau dari rupanya, tidak ada yang beda. Tapi aku merasa ada yang lain, begitu. Lebih berat, lebih hitam."
"Apiku, mungkin."
"Kenapa dengan apimu? Apa bisa seperti air laut begitu? Pasang-surut?"
"Tidak bisa." Ujung jemari Jeongguk menyapa puncak hidung sang terkasih. "Kamu ingat Banaspati perempuan yang pernah mampir ke mimpi kamu itu?"
"Aku ingat betul wajahnya." Jimin bergidik. "Bangun tidur sudah dipelototi. Bagaimana bisa lupa?"
"Aku ambil apinya."
"Maksudnya?"
"Api Banaspati perempuan itu, aku ambil."
"Lah?" Jimin menyeru kaget. "Kalau kamu ambil, memangnya tidak apa-apa? Dia bagaimana? Mati?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Adhiyaksa
Fanfiction[ COMPLETE ] : KookMin [ Sudah dibukukan ] Indonesian Mythology fanfiction. Abinawa - full version. Bercerita soal Jimin dan Jeongguk. Bertemunya dua insan beda wujud, dua raga beda pijak, dan dua jiwa satu prasangka. Note: Banaspati adalah sosok r...