26

494 130 103
                                    

"Kan kucabut duri pedih dalam hatimu agar kulihat senyum di tidurmu, malam nanti."


Jimin

Terik matahari kota Solo jadi penghantar pagi Jimin yang sudah sibuk. Mulai dari Jeongguk yang membangunkannya sehabis subuh, bising di dapur karena pemuda itu mulai masak, dan gerak cekatannya yang memilih-milih baju buat dikenakan. Meninggalkan pakaian abdi dalem miliknya di lemari supaya bisa dikenakan, nanti.

Kelopak mata rasanya jadi seberat dosa. Lengket betul bak dioles lem super supaya melekat. Tidak mengijinkan sang empu nya badan untuk bangun. Bantal di samping juga seolah melambai-lambai buat digapai.

"Masih pagi, Jeongguk," kata Jimin. Manik mata nya malas mengikuti ke mana saja kaki Jeongguk melangkah. "Subuh tadi, kenapa kamu bangunkan aku?"

"Kalau kamu mau menyantet orang, keadaan sekitar bakal jadi seperti waktu subuh."

Dari mengantuk berat, kini Jimin bangun seutuhnya. "Yang benar?" Tanyanya. "Ibuku memang bilang kalau makhluk seperti kamu aktif waktu sore hari. Waktu antara siang dan malam."

"Gerbangnya terbuka."

"Maksudnya?"

"Gerbang."

"Gerbang apa, sih?"

Tubuh Jeongguk bangkit dari merunduk. Tumpukan baju yang tengah ia tata jadi dianggurkan lagi. Manik matanya masih kelam dengan titik kemerahan. Tanda kalau laki-laki itu belum buat cangkang untuk pergi. "Ada batas antar manusia dan makhluk astral, sayang." Kata terakhir lebih kedengaran seperti orang jengkel ketimbang orang yang benar-benar tulus. "Kamu dengan aku sekarang bisa melihat satu sama lain, karena aku terlalu kuat."

"Sombong."

"Sedikit."

Jemari Jimin menarik ujung kemeja hitam panjang yang dikenakan sang kekasih. Belum seutuhnya dikancingkan. Tidak pula kelihatan kalau Banaspati itu kedinginan karena separuh telanjang. "Kamu ingat Wilhel?" Tanyanya. "Setan perempuan yang ada di kelasku waktu masih SMP."

"Nonik itu?"

"Iya."

"Kenapa dia?"

"Kalau makhluk yang semacam dia, apa masih bisa keliling-keliling walaupun tidak sore?" Tanya Jimin. "Kamu bilang, kalau makhluk sekelas kamu itu sudah bisa dianggap tinggi. Aku tidak yakin kalau Wilhel sekuat kamu atau Wendy."

Kasur yang semula cuma berisikan Jimin yang bersila, kini dihuni tubuh Jeongguk pula yang duduk. "Wilhel itu cuma setan yang tersesat. Dia lupa dengan urusan dia di dunia yang belum selesai."

"Terus?" Jimin jadi merasa kalau hantu perempuan yang suka meringkuk di pojok kelasnya ternyata lebih nelangsa dari apa yang ia kira. "Kalau lupa begitu, apa tidak bisa dibikin ingat?"

"Dia bakal ingat, nanti, kalau sudah waktunya."

"Bisa begitu?"

"Bisa." Kecup sayang mendarat di pipi Jimin sebagai hadiah karena ia sudah bisa bangun pagi tanpa merepotkan. "Aku masak sayur asem (sayur kacang). Kalau sudah sarapan, kita berangkat ke rumah Bambam dan Yugyeom."

"Siap!" Biarlah ia dianggap terlalu antusias. Faktanya Jimin memang sudah menunggu untuk dikenalkan dengan dua kawan kekasihnya. Disamping tujuannya jadi lelembut, Jimin merasa ada baiknya kalau menjalin relasi. Kawan kekasihnya bisa saja jadi kawannya pula seperti Wendy.

...

Pagar pendek yang terbuat dari kayu, menyambut kedatangan Jimin dan Jeongguk yang pakai baju rapi. Sang Banaspati dibalut kemeja hitam dengan celana jeans abu-abu yang tidak kelihatan muluk. Sedang Jimin punya kaos putih dan celana panjang kain dengan warna cokelat tanah di badannya.

AdhiyaksaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang