31

432 116 148
                                    

"Biar ku sendiri tanpa hadirmu kini lagi."

Jeongguk

Percik kemerahan muncul sedikit-sedikit dari balik punggung Jeongguk yang duduk di atas rumput. Menunggui kekasihnya di dalam goa. Masih tersisa waktu satu minggu lagi sebelum pemuda itu dibakar dikubangan. Membuktikan kuat tidaknya ia bisa jadi Banaspati. Kalau selamat, bagus. Kalau tidak, ya, sudah. Jimin masih bisa jadi setan gentayangan tanpa punya ilmu kanuragan yang kuat.

"Kamu benar-benar makan api perempuan Banaspati itu, Gguk?" Bambam datang dengan sabotol air mineral. Merunduk sambil berjalan memutar. Ujung hidungnya bergerak-gerak membaui aroma asing yang mungkin berasal dari badan Jeongguk, sekarang. "Auramu kelihatan beda. Wangi."

"Itu kamu saja yang tidak pernah mandi," sanggah Jeongguk, "berat sekali rasanya."

Tepukan di tengkuk diterima Jeongguk dari telapak Bambam yang tipis. Panas juga. Anak itu memandanginya seperti hendak marah karena Jeongguk sukar diberitahu. "Api yang kita punya sudah berat. Kamu malah ambil api Banaspati lain. Bebanmu itu sekitar enam puluh persen dari Banaspati normal yang empat puluh persen. Sekarang kamu sudah enam puluh, ditambah empat puluh. Jadinya berapa?"

"Seratus."

"Betul. Anak pintar."

Jeongguk jadi merasa kembali ke sekolah dasar. Tubuhnya bangkit dari duduk dan berjalan masuk ke dalam goa. Pelan-pelan saja karena tidak bakal ada yang menghalangi atau takut kalau Jimin lari.

"Mau kemana kamu?" tanya Bambam, "jangan diganggu. Sebentar lagi dia selesai. Tunggu saja. Satu minggu, kan, tidak lama."

"Aku sudah kangen," balasnya tanpa menoleh.

Semak tinggi disibakkan kedua tangannya supaya bisa melihat siluet seorang pemuda mungil yang sedang bertapa. Kedua kaki Jimin masih bersila. Badannya tegap dengan mata terpejam. Kejadian dimana anak itu tiba-tiba tersedak dan mimisan, masih membekas dalam ingatan. Jeongguk tidak bisa bayangkan bagaimana jadinya kalau meninggalkan sang terkasih ini sendirian. Meski ada dua kawan yang ia percaya, rasanya tidak lega saja.

Jeongguk berhenti di hadapan anak itu dan berjongkok. Memandangi wajah pemuda yang sudah dewasa. Betapa waktu bergulir begitu cepat. Tidak terasa pula kalau ia sudah menguntit anak ini sejak masih ada di Sekolah Menengah Pertama. Penolakan dan pengusiran sudah ia telan mentah-mentah untuk bisa ada di samping Jimin. Bukan untuk berjaga-jaga kalau rahasianya sebagai Banaspati bakal dibeberkan, tapi karena alasan lain. Klasik dan kedengaran tidak masuk akal. Tapi ia melihat tekad kuat dari bocah berusia tiga belas tahun itu. Sebuah harapan. Dimana pundaknya berisikan tanggung jawab besar menopang satu keluarga. Dan perbuatan Jimin kali ini membuktikan kalau Jeongguk tidak salah kira.

"Kamu harus berhasil," ujarnya, "kamu harus buktikan kalau niatmu lebih penting dari hidupmu sendiri. Itu kunci berhasil jadi seperti aku."

Tetes air di dalam goa menggema selaras dengan suara Jeongguk yang ia tahan supaya tidak begitu kencang. Bakal mengganggu Jimin kalau ia bicara seperti orang yang ada di dalam pasar.

"Aku sayang dengan kamu, Jimin," gumamnya, "aku tidak pernah bilang, ya? Malah bilang waktu kamu sudah di tengah jalan begini. Payah."

Gesek ranting membuat Jeongguk menoleh ke balik badan. Siluet Yugyeom menjinjing satu bongkahan emas di tangan menggantung di pintu. Tidak pula ada niatan anak itu untuk masuk. Cuma sekadar melihat. "Ini Banaspati perempuan itu, Gguk?" tanyanya. Telunjuknya mengarah pada segel keemasan yang ia bawa. "Apinya hampir hilang."

"Iya." Jeongguk mengangguk, "apinya diberikan ke aku."

"Yang benar?"

"Tidak ada alasan buat aku berbohong."

AdhiyaksaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang