16

520 122 79
                                    

"Biarlah aku menyimpan bayangmu dan biarkanlah semua menjadi kenangan yang terlukis di dalam hatiku. Meskipun perih, namun tetap selalu ada disini."

Jimin

Riuh rumah sakit akibat adanya pasien korban kecelakaan menyambut kedatangan Jimin untuk pertama kali sambang. Rencana awal memang cuma untuk mampir sebentar karena ia sudah dihadapankan dengan ujian tengah semester, satu minggu lagi. Bermaksud meminta ijin supaya tidak berlama-lama ada di rumah sakit.

"Jimin, mama tahu kalau kamu mengejar nilai di sekolah," kata mamanya waktu sudah keluar dari ruang rawat inap. "Tingkahmu itu, lho. Mungkin kamu punya pacar di sekolah karena mama bisa dengar kamu cekikikan di kamar sendirian. Tapi tantemu sedang sakit dan kami sekeluarga mau dia segera sembuh. Sehari seminggu saja, tidak bisa?"

Jimin tidak berani menjawab. Setelah kejadian penolakannya dengan Banaspati, pikirannya jadi kacau. Seperti menolak untuk bertemu dengan siapa-siapa. Ingin dibiarkan sendirian tanpa orang lain. Bahkan Banaspati tidak ia perbolehkan bermutasi jadi bentuk manusia. Cukup saja bongkahan api untuk mengingatkan kalau Jimin tidak sendirian.

"Jangan keterlaluan," tambah wanita yang duduk di kursi panjang, ruang tunggu. "Mama sudah tidak punya tenaga buat marah-marah. Lebih baik mama diam disini dan menunggu tantemu."

Kaos berlengan panjang yang Jimin kenakan, kini ia remat-remat. Menahan supaya tidak berlinang air mata. Semasa ia ada di bawah asuhan ibunya, baru kali ini wanita itu bicara kalau sudah capai. Mungkin segala hal yang baru terjadi, terlampau tiba-tiba dan tidak memberikannya istirahat. Kepergian kakeknya juga masih membayang. Tidak bakal bisa hilang dalam waktu dekat.

"Temui tantemu dulu, kalau kamu tidak mau ke sini lagi."

"Bukan tidak mau," sanggah Jimin. "Aku harus belajar buat ujian."

"Terserah kamu anggap itu apa."

Setelah menghela napas panjang baru Jimin bisa masuk ke ruangan yang penuh dengan aroma obat. Steril sampai-sampai Jimin bisa rasakan kalau ia yang sakit.

Di atas kasur, tantenya berbaring sambil melihat langit-langit. Kelopak matanya setengah terbuka antara sadar dan tidak. Setelan baju rumah sakit juga sudah melekat di badan. Tanda kalau tantenya bakal lama ada disini.

"Tante," panggilnya. Tidak ada niatan untuk dijawab. "Maaf baru bisa mampir. Aku tidak bisa mampir terlalu lama karena harus belajar buat ujian." Meski tidak ada tanda-tanda tantenya dengar, Jimin tetap melanjutkan, "Tante, kalau boleh jujur, ada sesuatu yang seharusnya mau aku ceritakan tapi tidak sempat. Ingat, kan, soal catatan yang tante tinggalkan di dalam kamar? Aku hapalkan isinya sampai ada di luar kepala. Semuanya. Tapi aku benar-benar bertemu dengan Wong Banaspati yang berbeda. Dia itu apa, ya?" Beruntungnya Jimin pakai suara berbisik dan tidak menimbulkan pandangan curiga dari kakak perempuannya yang tidak meninggalkan ruangan. Cuma ibunya yang pergi. Entah bakal kemana dan berapa lama.

"Aku merasa bersalah karena seolah-olah, ini semua aku yang membawa." Jimin merunduk. Perasaan malu menjalar ke tubuhnya, sekarang. Seperti benang panjang yang memenjarakan. "Apa semua memang salahku? Apa karena aku punya perasaan ke setan dan membuat kakek harus meninggal? Tante harus tidur disini?" Tanyanya lagi. "Semoga masih sempat aku mendapat jawabannya dari tante sebelum terlambat."

...

Kedua kelopak mata sudah sembab. Banyak kemungkinan yang berkelebat di dalam pikiran. Mengesampingkan sosok yang sekarang memberi Jimin kehangatan. Mungkin sementara, mungkin juga selamanya.

"Kamu tidak tanya, kenapa aku nangis?" Tanya Jimin setelah selesai menyeka air mata. Wajahnya masih bersembunyi di ceruk leher seseorang yang tidak punya detak jantung. Seperti Jimin tidur dengan dilepuk mayat saja rasanya. "Dari tadi diam saja."

AdhiyaksaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang