1

1.1K 182 46
                                    


"Aku ingin terbang tinggi seperti elang."

Jeongguk

2001

Lalu lalang mobil tidak begitu ada pengaruhnya untuk Jeongguk yang cuma sebatas bongkahan api. Melayang-layang diterpa angin dan sekarang sembunyi di balik rimbunnya daun sekitaran Candi Borobudur. Tumpukan batu besar yang membentuk sebuah bangunan peninggalan, sedikit lebih ramai dari biasanya. Kalau tidak hati-hati, Jeongguk bisa jadi bulan-bulanan warga. Tidak sedikit yang percaya kalau makhluk seperti dirinya bisa ditemui bahkan di siang hari. Ia baru bisa bernapas lega kalau hari mulai sedikit redup dan kedengaran lantunan suara orang mengaji dari musollah.

Kalau tidak karena butuh, Jeongguk bakal mengumpat ke siapa saja yang menyuruhnya datang ke tempat seperti ini. Ia harus menemui seseorang. Penting sekali sampai tidak bisa diwakilkan. Pada dasaranya memang ia tidak bisa disejajarkan dengan makhluk lain yang punya ilmu lebih rendah dari Banaspati. Sedang kawan satu spesiesnya pasti punya keteguhan sekeras dirinya yang pantang disuruh-suruh oleh makhluk lain. Kalaupun ia dimintai orang pintar untuk mengirim santet, Jeongguk biasanya tidak bakal terima tumbal manusia. Ia cuma butuh orang-orang datang ke pemakaman pahlawan di desa sekitar dan bersambang sampai akhir hayat mereka. Kedengaran lembek, kalau dipikir lagi.

Setelan warna biru telur asin dan celana kain cokelat yang lewat, seakan jadi penanda kalau Jeongguk sudah bertemu dengan orang yang tepat. Sosok pemuda itu tinggi dengan kacamata cokelat yang bertengger di hidung. Besar sampai mungkin bisa muat dua mata lain kalau diselipkan. Satu sunduk es krim yang mulai leleh di tangannya membuat Jeongguk ragu beberapa saat.

"Kowe nek arep seusatu, diomongken. Ojo mung ndelok i wae.[4]"

Jeongguk hampir terkesiap ketika mengambil wujud manusia dan sosok di hadapannya memutar badan. Bertemu tatap dengannya yang mengerjap-ngerjap keheranan. "Samean[5] bisa lihat aku?" Tanyanya.

"Yo iso. [6] Wong kita ini sejenis." Sosok itu punya senyum kotak

Jeongguk

2009

"Aku iki wes ngomong nek kowe iku canggung. [7]"

Sekarang Jeongguk terang-terangan mengerlingkan mata. Tidak perlu repot-repot menahan diri di hadapan kawan lamanya yang punya bara api pula di balik badan. Kalau disandingkan, mereka kelihatan beda. Satu dengan setelan baju abdi dalem yang rapi, lengkap dengan blangkon dan samir; satu lagi berbaju khas pakaian dinas sekretaris di jaman 1900-an. Keduanya duduk santai sambil minum kopi di warung. Mengambil wujud manusia sebentar supaya tidak dikejar-kejar warga. Capai juga kalau harus selalu sembunyi. "Ndasmu kuwi. [8]"

"Nek ora [9], coba tanya Adriaan."

"Nyapo malah jebul Adriaan? [10]"

"Kalian berdua, kan, kemana-mana kayak petani dan bebek. Nek de e nyuruh kowe mangan boto, paling juga mbok pangan. [11]"

"Untumu. [12]"

Jeongguk bisa dengar suara lawan bicaranya yang terbahak-bahak sampai hampir menyenggol seorang ibu-ibu yang mengantar kopi. Setelah diletakkan di meja, baru kawannya minta maaf.

"Jeongguk, aku masih heran. Wajahmu nggak ada jowo-jowone blas. [13]" Suara seruputan kopi jadi penjeda. "Waktu pertama ketemu, kalau aku nggak sadar kamu itu sejenis dengan aku, aku bakal tertawa di depan wajah kamu."

AdhiyaksaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang