18

494 118 105
                                    

"Memang dunia buramkan satu logika."

Jeongguk

Setelah dipukul gemas oleh Jimin, tidak sengaja masuk lewat pintu belakang dan bertemu dengan kandang baru milik Taehyung beserta burungnya yang diam saja tidak bersuara, kali ini Jeongguk dijadikan bahan olok-olokan dua setan yang terbahak-bahak karena cerita singkatnya.

"Aku kemari bukan buat jadi pelawak," bisik Jeongguk yang sudah tidak punya tenaga untuk melawan.

"Siapa nama dia? Jimin?" Wendy bangkit dari berbaring di pelataran jalan. Kedua tangannya sudah mencengeram gaun yang menyelimuti perutnya, menahan sensasi kram yang mulai menjalar akibat terlalu lama terpingkal-pingkal. "Cuma dia tok (saja) yang berani memarahi kamu. Imhoff saja hati-hati kalau mau bertindak. Jimin ini malah bilang di depan mukamu biar kamu tahu kalau dia tidak suka dengan perbuatan kamu itu. Hebat."

Taehyung tidak mau kalah. Ia menimpali, "Bahkan aku disuruh memagari dia juga. Ingat, kan, kalau aku pernah pamit ke rumah anak yang diikuti Jeongguk? Ya, buat itu."

"Edan," tanggap Wendy. Jemarinya menarik kain gaun supaya bisa menutup separuh tubuhnya yang berupa kaki kuda. "Terus kamu mau aku memberi wejangan apa? Biar kamu cepat-cepat menikahi dia, begitu?" Tanyanya.

"Bukan," sanggah Jeongguk. "Aku cuma butuh diyakinkan kalau tugasku di dunia masih sama."

"Apa tugas kamu?" Tanya perempuan itu. Kulitnya yang seputih susu, bersinar redup di bawah rembulan. "Membinasakan orang yang ada kaitannya dengan Imhoff?"

"Iya."

"Lakukan, kalau begitu."

"Itu masalahnya."

Kedua alis Wendy bertaut. Bingung. "Apanya yang jadi masalah?"

"Orang-orang yang ada kaitannya dengan Imhoff itu selalu ada kaitannya dengan Jimin juga."

Kali ini bukan tawa mengejek yang Jeongguk dengar. Wendy semata-semata menepuk pundak Jeongguk dan menyunggingkan senyum manis. "Kamu tahu apa itu artinya?"

"Apa?"

"Kalian jodoh."

"Untumu (Mengumpat)."

"Wendy tidak salah juga," sambar Taehyung. "Kamu belum tahu sejarah kita ketemu, ya?"

Jeongguk bakal didongengi, setelah ini. Dengan berat hati, ia mengangguk karena malas berdebat. "Aku tidak yakin kalau situasinya serumit aku."

"Malah adu nasib," kata Wendy. "Kita saja ketemunya hampir sama seperti kamu dengan Jimin itu."

"Yang benar?" Jeongguk menarik asumsi sesaatnya. "Siapa yang lelembut dan siapa yang manusia?" Tanyanya.

"Bukan lelembut dan manusia tapi dua orang yang punya ideologi beda." Wendy merangkak mendekat supaya bisa bersuara lebih rendah. Tidak perlu ngotot. "Aku memang murid Multatuli juga tapi aku kurang setuju dengan pikiran liberal beliau yang punya keyakinan kalau Bangsa ini punya hak merdeka."

Manik Jeongguk memincing. Wendy sudah jadi kawannya setahun setelah ia bertemu dengan Taehyung untuk pertama kali. Tidak pernah Jeongguk sangka kalau perempuan ini justru datang dari seberang jalan. Membangun jembatan sendiri supaya bisa sampai di kehidupan orang yang tidak sepemikiran. "Sampai sekarang?" Tanya Jeongguk memastikan. "Kamu bisa dikategorikan musuhku, kalau iya."

"Sabar dulu, Jeongguk." Hangat telapak wanita itu membawa ketenangan waktu mengusap lengan Jeongguk. "Aku belum cerita semuanya."

"Aku dengarkan."

AdhiyaksaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang