9

581 136 23
                                    


"Di dalam sebuah cinta terdapat bahasa yang mengalun indah mengisi jiwa. Merindukan kisah kita berdua yang tak pernah bisa akan terlupa."


Jeongguk

Lebih dari satu minnggu sudah Jeongguk mendedikasikan dirinya sendiri untuk mencari tahu penyebab kematian kakek dari pemuda yang ia buntuti. Sadar atau tidak, ia seakan didorong tangan tidak kasat mata untuk mencari apa yang tengah mengganggu otaknya, sekarang.

Dalam balutan kemeja yang punya warna beda-beda, ia berhasil mengaburkan eksistensi Banaspati dan membuat orang-orang Perpustakaan D.I Yogyakarta, semuanya tidak ada yang curiga. Jeongguk baru kali merasa berpuas diri itu perlu. Tingkat kesulitannya berbeda dengan sekadar mampir di warung tepi jalan dan makan mie instan. Dibutuhkan lebih dari tiga hari untuk diam duduk bersila dan memohon ilmu dalam badannya supaya lebih kuat. Lebih bisa dikendalikan karena Banaspati sejatinya memang bisa lebih matang.

Problemnya mungkin ada di banyak pasang mata yang memperhatikannya dengan lapar atau sekadar penasaran. Mungkin sudah jarang melihat orang yang berpenampilan kemeja polos biru muda dan celana panjang kain, mampir ke perpustakaan untuk sekadar membaca. Kalau diingat-ingat, Jeongguk tidak pernah merasa ia adalah satu dari banyaknya anak lelaki yang dikagumi orang waktu masih di Mataram.

Setelah mendapat beberapa petunjuk, Jeongguk harus mendiskusikan ini bersama dengan orang yang sejenis. Yang sama-sama Banaspati. Tidak sulit untuk mencari keberadaan kawannya, Taehyung. Pemuda itu berhasil mengubah dirinya seratus persen mirip dengan makhluk hidup di sekitaran. Bisa membangun rumah, mencicil sepedah motor, dan lainnya. Meski berkilah kalau Jeongguk sejatinya juga kurang suka mengaburkan jati diri, tapi ia tidak punya pilihan lain. Mungkin menyamar adalah jalan satu-satunya yang paling benar, sekarang.

"Mari saka ngendi, kowe (Habis darimana, kamu)?" Tanya Taehyung dari ruang tengah. Berbekal dua cangkir yang penuh dengan teh hangat, ia menyapa Jeongguk di pintu masuk. Tahu keberadaan kawannya masih bisa dirasakan di udara. "Potong rambut?"

"Jelek, ya?" Jeongguk duduk di atas satu kursi, di pelataran rumah. Terbuat dari kayu dan berdecit waktu mendapat beban dari tubuh. "Tidak dipangkas. Aku buat cangkang."

"Hebat kowe." Kedua cangkir itu mendarat di meja dengan Taehyung dan duduk di samping Jeongguk, di kursi tunggal yang lain. "Wes, ning kene wae (Sudah, disini saja)," katanya.

"Boleh?"

"Siapa yang melarang?"

"Tidak ada, sih."

"Daripada kamu sembunyi-sembunyi waktu hujan. Aku kasihan, lihatnya."

Jeongguk tidak mau menyanggah. Keadaannya yang berapi dan mempertahankan bara nya sendiri memang menyedihkan. Ia tidak mau lari dari fakta itu dan tidak ada niatan pula untuk menutupi. Taehyung selalu bisa melihat dirinya sendiri lebih jeli. Mungkin kepekaan anak itu juga membawa berkah untuk sekitarannya. "Apa kita ini bisa membawa pengaruh buruk ke manusia, Tae?"

"Kita?"

"Banaspati."

Taehyung bungkam beberapa saat. Mungkin mencari kalimat paling tepat untuk situasinya, sekarang. "Ada kasus yang begitu, ada yang tidak. Tergantung bagaimana orangnya menghadapi energi negatif itu sendiri," katanya. "Kenapa dengan Jimin?"

"Kakeknya meninggal." Pertanyaan Taehyung tidak membuat Jeongguk keberatan atau bertanya-tanya darimana pemuda itu tahu isi di dalam otaknya. "Dan aku seperti bocah edan yang bolak-balik perpustakaan, cari buku tua cuma buat tahu jawabannya."

AdhiyaksaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang