27

482 118 127
                                    


"Kau yang selalu larut dalam darahku."


Jeongguk

Batu nisan putih milik Kang Mas nya sudah berdebu dan lapuk. Rasanya sudah waktunya untuk diganti dan dipasang di tempat yang sama. Pahatan nama juga mulai hilang warnanya.

"Kamu yang cabut rumput-rumput di sekitar makamnya?" Yugyeom datang dari balik badan sambil membawa satu sapu korek yang baru. "Masih kelihatan bersih. Berapa bulan sekali, kamu kesini?"

"Biasanya dua bulan sekali."

"Pacarmu tidak cemburu, Gguk?" Bambam menjinjing celurit dan segera berjongkok di samping makam yang sudah sukses Jeongguk pagari. Dengan beberapa batu bata supaya tidak terlalu mencolok. Cuma sebagai penanda saja. "Atau dia sudah tahu kalau kamu suka dengan mas senior mu sendiri?"

"Sudah tahu," sambar Jeongguk.

"Terus dia bagaimana?"

"Ya, biasa saja." Satu kantong plastik yang dijinjing, diletakkan di atas rerumputan pendek. Berisi bunga segar yang masih menyerbak bau wangi. Ditabur di atas gundukan tanah yang sudah rata. Mulai dari atas sampai ke bawah. "Gimana kabarnya, mas? Aku sudah lama tidak ke sini," kata Jeongguk pada udara kosong. Seolah SeokJin masih ada di hadapannya, sekarang.

Dua kawannya diam saja. Tahu kalau momen ini tidak seharusnya ditimpali dengan gurauan. Bukan hanya Jeongguk yang kangen dengan sosok laki-laki penuh kasih yang mengasuh mereka waktu masih anak-anak. Belum tahu mana yang benar dan mana yang salah.

"Maaf kalau jarang kemari. Aku baru selesai urusan dengan Imhoff. Belum sampai empat tahun, ternyata ada satu Banaspati yang lolos." Jeongguk berjongkok. Diusapnya nisan kusam yang sudah berlumut di beberapa bagian. Nama SeokJin terpampang disana. Untaian kalimat sayang dalam Aksara Jawa juga dipahat di bawah nama. "Biasanya aku kemari sendirian. Sekarang ada Yugyeom dan Bambam. Mas SeokJin belum ketemu dengan mereka waktu sudah besar begini, kan? Mereka terakhir kelihatan ikut rombongan Raden Mas Pakubuwono ke Solo."

"Piye kabare, mas (Bagaimana kabarnya, mas?)" Bambam duduk bersila di samping Jeongguk. Kedua tangannya menepuk nisan seperti bahu seseorang. Diusap-usap sayang. "Maaf tidak bisa kemari. Aku tidak tahu makam mas dimana. Ketemu dengan Jeongguk saja, di waktu genting. Mepet."

Yugyeom mencomot kantong berisi kembang yang ada di samping gundukan tanah. Ditaburkannya pula bersama dengan bebungaan lain yang sudah jatuh duluan. "Mas SeokJin tahu Imhoff, kan?" Tanyanya. "Yang bikin Raden Mas Mangkubumi memberontak ke Raden Mas Pakubuwono."

"Dia sudah hilang, mas," tambah Bambam. "Kita bertiga yang kalahkan. Mas SeokJin pasti bangga, kan? Anak didik nya jadi orang berhasil."

Nyeri mendera luka yang belum begitu sembuh. Jeongguk menahan erangan karena denyut tidak nyaman yang ia rasakan. Tubuhnya duduk di atas rumput dan meringkuk. Menyandarkan kepala di atas batu nisan kepemilikan kakak asuh nya. "Mas, aku kangen," bisiknya.

"Biar aku, Yugyeom dan Jeongguk yang teruskan perjuangan mas." Bambam merengkuk pundak Jeongguk pelan-pelan. "Mas, kan, punya cita-cita buat mengakhiri kolonialisme di Hindia-Belanda. Kalau ada bahaya, kita yang sikat."

"Semoga mas SeokJin bahagia disana," timpal Yugyeom.

...


Luka fisik yang masih membentang di perut dan pundak kiri kelihatan lebih mencolok dari biasanya. Entah karena sedang diperhatikan atau sejatinya memang seperti itu, sedari awal.

AdhiyaksaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang