4

666 161 26
                                    

"Bukalah mata hati. Ku masih cumbui bayang dirimu di dalam mimpi yang mungkin tak 'kan pernah membawamu di genggamku."

Jimin

Acara makan-makan di kediaman Jimin berlangsung lebih lama dari yang ia sendiri bayangkan. Semua keluarga besar datang menyambutnya yang dapat juara satu peringkat kelas. Bukan sesuatu yang harusnya patut untuk dibuat ramai-ramai tapi mengingat Jimin sendiri bahkan tidak menyangka kalau bisa, sekeluarga jadi sepakat untuk mengadakan acara syukuran.

"Jimin ini pasti sudah punya pacar. Ya, kan?" Suara neneknya menggema di rumah tengah. Sambil membawa gelas teh di tangan kanan, wajahnya kelihatan bahagia. Di usianya yang sudah tidak lagi muda, Jimin masih bisa melihat semangat hidup yang tidak kunjung redup. Terpancar dari setiap perlakuan beliau pada semua cucu dan anaknya.

"Belum," jawab Jimin ketus. Ia tidak suka topik pembicaraan ini. Semua anggota keluarganya juga sudah bersiap untuk masuk jam malam. Menjadikan obrolan mulai melenceng ke arah yang semakin berat. Entah itu soal masalah keluarga yang tidak bisa diselesaikan sendiri atau beberapa cerita mistis yang Jimin tidak mau dengar. Keluarga ibunya memang punya ikatan kental dengan beberapa makhluk tidak kasat mata. Semuanya menurun dari generasi ke generasi. Sialnya, Jimin kebagian.

"Jim, buku tante ketinggalan disini, ya?" Tantenya menengok dari sofa tunggal. Bantal duduk masih ada di atas pangkuannya dan enggan dipindah kemana-mana. "Kalau tidak salah, malah ditaruh mamamu di kamarmu."

Mendengar topik soal buku catatan usang itu membuat Jimin jadi ingat dengan tulisan-tulisan serta gambar yang ada di dalamnya. Semuanya terasa aneh dan Jimin bisa melihat beberapa makhluk itu melayang-layang. Pikirannya tidak lagi bertanya ini dan itu, seluruhnya seperti sudah terjawab lewat pengetahuan tidak penting yang bahkan disusun tantenya di sebuah buku. Niat betul. "Ada di kamar, te," jawab Jimin sembari beranjak. "Mau tak (ku) ambilkan?"

"Wes (Sudah) bawa saja. Sudah ndak (tidak) butuh aku. Hafal semuanya, soalnya." Senyum tante nya merekah. Bukan disunggingkan atas dasar ikhlas tapi lebih ke menggoda. Mungkin ibu Jimin sudah bercerita ke keluarga besarnya kalau Jimin dialiri kelebihan seperti tante dan neneknya. Ibunya seharusnya juga bisa melihat hal yang sama meski samar tapi beliau selalu bilang kalau hal-hal semacam itu selalu tidak diindahkan. Mungkin demi ketentraman batin pula.

"Matur suwun (Terimakasih), te."

"Nggo opo (Bua tapa)?"

"Buat catatannya."

"Kamu jangan jadi aneh, Jim. Nanti tidak punya teman."

Sudah tidak punya, memang. Jimin cuma membalas dengan senyum maklum. Tanda kalau ia enggan melanjutkan topik ini. Dihindari saja lebih baik ketimbang menambah masalah baru. "Aku ke kamar duluan." Sambil pura-pura menguap, ia sukses lepas dari kumpul keluarga dan bisa melepas penat di atas kasur.

Lebih dari tiga bulan sudah Jimin tidak diganggu makhluk berapi itu lagi di dalam kamarnya sendiri. Ia sendirian dan merasa lebih baik. Tidak perlu was-was kalau bakal muncul dari mana saja. Selain mengagetkan, setan itu juga tipikal yang menggoda. Seperti tidak mau kalau tidak diacuhkan. Jimin merasa lelah kalau harus meladeni semua kalimat yang Wong Banaspati itu ucapkan. Ada kalanya ia diam saja tapi suhu kamar jadi terasa meninggi. Mungkin pemuda dedemit itu murka. Jimin mencoba tidak peduli.

Jendela kamar tidur yang berhadapan langsung dengan kasur, mengembun di satu titik. Dilihatnya tidak enak sama sekali. Jimin berakhir mencoba membersihkan embunnya dengan tangan kosong. Ketika suhu panas menyapa permukaan kulit, Jimin berjengit kaget. Ketakutan setengah mati kalau-kalau ia cuma halusinasi atau sekadar kurang tidur sampai bisa merasakan hal yang sejatinya tidak ada.

AdhiyaksaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang