8

555 148 18
                                    

"Mengapa satu rasa berlari mengejar segala perbedaan yang seharusnya tak ada di batas bening jiwa?"

Jeongguk

Aroma kayu jati yang semerbak membaur dengan bunga melati. Jeongguk kenal betul wangi ini. Campuran dari kertas usang dan kayu manis juga sedikit-sedikit bisa ditangkap hidungnya. Bersamaan dengan nyaringnya suara gendhing ngambararum dan lantunan dari sindhen juga jadi membuat Jeongguk bernostalgia. Mengingat-ingat masa dimana ia masih duduk bersama dengan anak-anak abdi dalem lainnya. Belajar menulis, membaca, sambil mengintip ke kumpulan anak-anak gadis yang sedang belajar menari. Semuanya pakai baju rapi. Sampur yang mengikat di lingkar pinggang mereka juga warna-warni. Membuat siapa saja tergoda untuk mencuri pandang barang sejenak.

Tujuh penari wanita di hadapannya memasang wajah tersenyum anggun yang indah. Memukau. Seluruhnya membawa gerakan-gerakan indah yang membuat Jeongguk sampai tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Dari atas sampai bawah, busananya punya rompi bludiran, kain batik motif Parang Gurdha yang punya latar putih dan pola seredan. Masing-masing penari perempuan membawa aksesoris jamang berhias bulu burung kasuari yang disematkan bersama dengan sanggul gelung sinyong.

Hampir semua orang pakai samir yang mengalung sampai ke dada. Warna emas membaur dengan dasarannya yang semerah darah. Semuanya sempurna.

Dari semua undangan yang datang, Jeongguk bisa lihat beberapa yang seperti dirinya. Tidak kasat mata oleh manusia tapi juga menikmati apa yang Kraton suguhkan. Meski tidak bisa berdiri terlalu dekat, Jeongguk cukup puas. Melihat kebudayaan Jawa yang kental masih mau dilestarikan.

Kendati masih pembukaan, ia tidak bisa kemana-mana. Taehyung berdiri di sampingnya sambil menyipitkan kedua kelopak matanya. Memincing supaya bisa melihat satu persatu orang yang ada di balik semua alat musik. "Selasa wage itu maksudnya gimana?" Tanyanya sambil membenahi posisi jasnya yang kelihatan kebesaran.

"Wage itu.." Jeongguk bingung bagaimana menjelaskannya. "Bagaimana, ya, bilangnya. Pokoknya, setiap hari punya weton nya sendiri-sendiri."

"Tiga ratus hari itu beda-beda?"

"Cuma lima."

"Apa saja?"

"Legi, pahing, pon, wage; seperti yang kamu bilang, barusan; dan kliwon." Kedua tangan Jeongguk membenahi posisi blangkonnya yang kurang rapi. Melepasnya sebentar dan menyibakkan rambutnya sendiri ke belakang kepala supaya lebih tertata. "Paham?"

"Tidak."

"Ya, wes (Ya, sudah)."

Taehyung kelihatan tidak puas. "Semua pakai jarit yang punya motif beda-beda. Kamu pakai apa ini?"

"Wahyu Tumurun," jawab Jeongguk singkat.

"Kamu bisa menyebutkan semuanya, tidak?"

"Corak yang mereka pakai?"

"Iya."

"Sumpah.." Jeongguk menggerutu sendiri. "Yang di belakang kendang, pakai corak yang sama seperti aku." Telunjuknya berpindah dari sosok satu, ke yang lainnya. "Yang lagi pukul saron.."

"Saron?"

"Itu yang dipukul pakai alat seperti palu."

"Oh!" Taehyung kegirangan. "Banyak."

"Ya, memang." Jeonggk menghela napas. "Dari yang paling kanan, beliau pakai jarit corak ciptoning. Sebelahnya lagi.."

"Tunggu, aku ndak ngerti."

AdhiyaksaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang