23

510 117 113
                                    

"Tatap matamu bagai busur panah yang kau lepaskan ke jantung hatiku."

Jeongguk

Peniti kecil yang punya batuan mungil masih jadi atensi Jeongguk, saat ini. Sudah lama ia simpan di dalam lemari. Ia bakal mengira kalau bisa lapuk dimakan jaman tapi nyatanya tidak. Saksi terakhir dari dirinya yang awalnya adalah manusia. Masih pula ia ingat kalau peniti itu disematkan oleh mas SeokJin di balik samir yang yang panjang. Supaya tidak diganggu hal-hal gaib yang bisa menyebabkan tugas terbengkalai.

Hangat lingkar lengan menyambar pelataran perutnya yang tidak berbalut kain. Cuma sekadar celana pendek yang sering ia pakai kalau menemani kekasihnya tidur. "Katanya mau tidur?" Tanyanya tanpa menoleh.

"Sebentar lagi." Kaos panjang miliknya sudah berpindah ke tubuh Jimin yang mungil. Alhasil jadi kebesaran dan Jeongguk harus membantu menggulung lengan yang menghalangi telapak tangan laki-laki itu. "Kamu pegang apa itu?" Tanyanya sambil menengok dari balik badan Jeongguk yang lebih lebar.

"Jimat."

"Buat apa? Kamu, kan, lelembut. Malah kamu yang harusnya jadi jimat."

Jeongguk jadi merasa seperti barang antik. "Kamu ingat, tidak? Kalau bayi baru lahir, ada peniti kecil yang isinya batu-batu, dipasang di bajunya?"

"Yang dari ibunya itu?"

"Iya."

"Tahu."

"Aku juga punya itu waktu pertama masuk Mataram."

Jimin buru-buru menyabet peniti yang masih Jeongguk genggam. Mengangkatnya tinggi-tinggi ke udara. "Kalau ini dijual, aku bisa kaya."

"Siapa yang bakal percaya kalau itu dari Mataram?"

"Kamu yang punya tugas menjelaskan."

"Kalau aku yang menjelaskan, bukan penitinya yang mereka bawa pulang, tapi aku." Jeongguh menahan diri untuk tidak mengerlingkan mata. "Kamu belum tahu siapa itu mas SeokJin, ya?"

"Pakai 'mas'? Dia Banaspati senior atau bagaimana?"

"Bukan." Kedua lengan Jeongguk menjamah tubuh kekasihnya supaya bisa diangkat dan direbahkan di atas kasur. Lebih enak bercerita dengan santai begini. "Kalau diibaratkan, dia kakak senior tapi sekarang sudah tidak ada."

"Tidak ada?" Jimin mengerjap-ngerjap lucu. "Meninggal?"

"Iya." Jeongguk manggut-manggut membenarkan. "Dia meninggal waktu Mataram pecah jadi dua."

"Ini bakal seru."

"Asal kamu tidak cemburu saja."

"Lah? Kamu pernah pacaran dengan dia?"

"Tidak sampai pacaran." Peniti yang digenggam Jimin kembali berpindah ke tangan yang punya. "Tapi dia tahu kalau aku suka dengan dia. Beberapa kali juga diberi tahu soal nanti kalau sudah menikah harus bagaimana."

"Menikah?" Jimin membelalak. Ia tidak kelihatan marah tapi justru terkejut. "Kalian sampai berencana menikah, begitu? Hebat sekali."

"Sebelum aku diubah jadi Banaspati."

"Setelahnya bagaimana?"

"Dia memang tidak setuju waktu aku jadi Banaspati, tapi dia juga tidak menjauh. Cuma beberapa kali jadi mengalihkan pembicaraan saja." Jeongguk mengingat-ingat. Selepas ia diubah jadi makhluk astral, SeokJin tetap merangkulnya seperti adik asuh yang lain. Tidak membeda-bedakan. Meski Yugyeom dan Bambam justru yang tidak mau mendekat.

"Terus?"

"Terus dia meninggal."

"Jeongguk." Belaian lembut bisa Jeongguk rasakan di pelataran pipi. "Maaf kalau salah duga. Tapi apa karena mas SeokJin ini meninggal, kamu jadi makhluk yang main bunuh saja?"

AdhiyaksaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang