20. Pelampiasan Emosi

558 59 2
                                    

-oOo-

Akibat kejadian kemarin dimana Ameeza dan Angga bersitegang.  Malam harinya kakak beradik itu di sidang. Keduanya diberikan nasihat oleh Bahar dan tentunya diberikan hukuman juga.

Hukumannya adalah tidak boleh menggunakan mobil atau motor ke sekolah, mereka berdua hanya boleh menggunakan sepeda. Walau hukuman ini sempat ditentang oleh Ameeza, Angga, bahkan Izzi dan Eliska pun ikutan angkat bicara, protes dengan hukuman itu. Sebab jarak dari rumah ke sekolah memang cukup jauh. Namun, keputusan  Bahar sudah bulat dan tidak dapat diganggu gugat. Hukuman ke dua tentunya uang jajan keduanya dipotong.

Angga hanya diam setelah Bahar memberikan hukuman sedangkan Ameeza, perempuan itu memberontak, dengan sikap kurang sopan, Ameeza menghentakkan kakinya lantas pergi menaiki anak tangga.

Esok harinya, Ameeza terpaksa bangun pagi-pagi sekali. Sarapan lebih dulu dari yang lainnya. Dan berangkat tanpa pamit pada kedua orang tuanya. Ameeza pergi dengan mengayuh sepeda hingga berkilo-kilo meter.

Peluh membanjiri dahinya ketika Ameeza sampai di tempat parkiran khusus sepeda. Yah, tentu saja di SMA Antares ada saja yang menggunakan sepeda untuk kendaraan ke sekolah, walau jarang. Dan sekarang pun di parkiran khusus sepeda baru ada dua buah sepeda yang terparkir kemudian ditambah satu dengan sepeda Ameeza. Jadi jumlahnya ada tiga.

Turun dari sepeda. Ameeza mengambil ikat rambut dan mulai menguncirnya, sembari pandangannya memindai lingkungan SMA Antares yang masih cukup sepi.

Kakinya melangkah, sebelum akhirnya sebuah tepukan pelan di bahu membuat Ameeza melirik sekilas. "Kemarin formulir udah diisi? Gue nitip ke Erga."  Pertanyaan dari Melva hanya disahut dengan gelengan kepala.

Ameeza meneruskan langkahnya menyusuri koridor kelas X beriringan dengan Melva.

Melva yang mendapat jawaban sesingkat itu hanya mendengus. "Lo jadi gabung 'kan ke eskul bulu tangkis?" tanya Melva lagi ketika keduanya sampai di depan pintu kelas X MIPA 2.

Ameeza dan Melva memasuki kelas. Keduanya duduk bersamaan dengan Melva duduk di kursi yang berada di depan meja Ameeza.

"Gak tahu," ucap Ameeza malas.

Melva mengambil formulir dari dalam tasnya lantas mengangsurkan kertas itu ke hadapan Ameeza. "Isi ajalah," ujar Melva sedikit penat sebab Ameeza yang kelihatan tidak berminat sama sekali. Entah apa masalahnya.

Dia gak tahu masalah gue yang kemarin, yah?

Ameeza mengambil pulpen di tas dan mulai mengisi formulir tersebut. Walau ada perasaan tak ingin dan tak berminat, Ameeza tetap memaksakan. Ia sudah tidak ingin membuat masalah lagi di sekolah, atau ayahnya akan menyidang dan memberi hukuman yang lebih berat lagi.

Tangannya sibuk menulis sedangkan pikirannya melanglang buana jauh, mereka ulang kejadian kemarin malam dimana ayahnya menyidang ia dan kakaknya. Tanpa sadar kedua matanya memejam erat, entah mengapa kilasan balik yang abstrak kemarin, saat Angga dengan begitu tega menamparnya terputar ulang di kepalanya.

"Lo gak apa-apa." Suara kekhawatiran dari Melva membuat Ameeza tersadar. Perempuan itu hanya mengangguk pertanda ia tidak apa-apa.

"Kemarin ada kejadian apa, nih? Ada yang menarik gak?" tanya Melva antusias. Ameeza hanya bungkam, pegangan di pulpennya mengerat meski hal itu tidak tampak begitu jelas.

Gue ditampar sama Kak Angga.

"Formulirnya lo aja yang kumpulin, deh. Nanti pulang sekolah inget. Biar besok lo bisa langsung gabung," jelas Melva yang diangguki oleh Ameeza.

Sebaiknya emang lo gak tahu aja, Mel.

-oOo-

Usai mengumpulkan formulir pendaftaran ke Bella—ketua eskul bulu tangkis putri, Ameeza mampir ke mesin minuman yang terletak di depan kelas. Mesin minuman otomatis ini hanya ada tiga sampai empat di setiap koridor.  Ameeza memasukkan selembar uang 2000 dan 1000 ke lubang— untuk pembayaran minuman, lantas menekan tombol kode minuman yang ia inginkan. Setelahnya Ameeza mengambil minuman itu.

Ameeza menyedot teh kotak dingin ketika ia sudah duduk di kursi yang berada di depan kelas tak jauh dari mesin minuman  tadi. Sampai atensinya teralihkan melihat dari koridor sebrang yang terhalang oleh lapangan basket, ia melihat Erga.

Ameeza melempar teh kotak itu ke tong sampah, ia sudah lebih dulu menerobos lapangan basket hingga sampai di koridor sebrang. Entah kenapa Ameeza penasaran dengan cowok itu.

Terlebih lagi setelah kejadian beberapa minggu lalu Ameeza dibuat kesal dengan penolakan Erga. Meski sebenarnya wajar-wajar saja Erga menolak tawaran itu karena memang Erga punya hak untuk menolak. Tapi, tetap saja Ameeza kesal.

Lagi-lagi loker. Tubuhnya sempat berbalik untuk pergi, namun pada akhirnya Ameeza tidak jadi melakukan itu. Bagaimana pun Ameeza tidak mau lari. Sejenak ia mengembuskan napas, menghilangkan kegugupan dan sedikit trauma tentang kejadian kemarin pagi. Walau tempatnya bukan di loker kelas X, tetap saja Ameeza merasa sedih dan pedih. Goresan lukanya masih sama meski sudah terlewat.

Sialnya kilas balik itu terus memenuhi kepala Ameeza. Hingga membuatnya emosi sendiri. Ameeza memukul tangan Erga cukup kuat hingga tiga buah amplop yang digenggamnya jatuh ke lantai.

Sebelum Erga berjongkok, tangan Ameeza lebih dulu menarik kerah seragam cowok itu, membalik tubuh Erga hingga dia membelakangi loker.

Kaki Ameeza menginjak-injak ketiga amplop yang jatuh tadi. Menunjuk-nunjuk wajah Erga. Memakinya dengan berbagai umpatan.

Bola mata Erga tak lagi setenang dulu. Ameeza dapat merasakan ada emosi di sana. Namun, Ameeza tak peduli ia masih tetap memarahi laki-laki itu.

"Semua ini gara-gara lo! Kenapa, sih lo gak mau jadi tempat curhat gue!!" teriak Ameeza lantang.

"Gue tahu lo tertutup ...." Ada jeda sesaat sebab tenggorokan Ameeza terasa benar-benar tercekat. "Tapi, gak gini juga!"

Beberapa kali pun Ameeza memarahi Erga dengan masalah yang bahkan Erga pikir hal sepele yang dibesar-besarkan, tak membuat pertahanan membisunya runtuh. Bahkan, Erga mengamati setiap ekspresi kala perempuan berambut kuncir kuda di depannya mengoceh panjang dengan emosi naik turun. Ekspresi Ameeza lebih ke ekspresi yang menandakan amarah meluap-luap. Lebih tepatnya semacam amarah yang memang sengaja di lampiaskan padanya.

Napas Ameeza terengah-engah. Namun, sampai sejauh ini Erga masih tahan dengan sikap diamnya. Keterdiaman Erga semakin membuat emosi Ameeza memuncak, dengan kasar Ameeza melepaskan cengkramannya di kerah seragam Erga.

Ameeza pergi menjauh. Diam-diam selama perjalanannya menuju parkiran ia baru tersadar bahwa apa yang dilakukannya tadi pada Erga sangat konyol dan sangat memalukan. Tindakannya tadi seakan-akan 'memaksa' Erga untuk menjadi teman berbagi cerita. Dengan tindakan yang terburu-buru itu, Ameeza berpikir ia terlalu mengekspresikan perasaannya. Mungkinkah Erga berpikir Ameeza memang selemah itu, hingga ia butuh sebuah sandaran dan teman untuk berbagi cerita.

Kepala Ameeza menggeleng kuat. Ia bergegas menaiki sepedanya dan mengayuhnya secepat mungkin. Dan selama perjalanan mengayuh sampai ke depan gerbang, Ameeza sengaja menyenggol orang-orang yang menghalangi jalannya. Membuat orang-orang yang disenggol tadi memakinya dan Ameeza menerima makian itu dengan sebuah senyuman. Aneh memang.

-oOo-

AMEEZA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang