13. Luka Terpendam

654 68 8
                                    

-oOo-

Ameeza menghadang Erga yang baru saja keluar dari Cafe ElBa. Ia menarik tangan Erga ke suatu tempat. Tanpa memberikan jeda walau hanya sesaat, seakan Erga tak boleh protes dengan tindakannya.

Ameeza pikir Erga akan menepis tangannya kasar karena sembarangan menarik tangannya tanpa aba-aba. Namun, dugaannya salah. Laki-laki pendiam yang ia tarik ini sama sekali tidak membantah atau protes. Seakan Erga memang tidak masalah Ameeza bersikap begini.

Kaki Erga berhenti melangkah saat Ameeza melepaskan tangannya di depan sebuah saung yang ada di tengah-tengah sawah. Letaknya cukup jauh dari pemukiman.

"Mau sampai kapan lo berdiri di situ?" cetus Ameeza membuat Erga mengalihkan pandangannya.

Erga duduk di ujung sangat jauh dari tempat Ameeza duduk. Perempuan berambut cepol yang mengajaknya kemari kali ini sedang memandangi hamparan sawah yang tertiup angin. Kemudian menengadah menatap langit dan menghela napas cukup panjang. Ameeza menoleh. "Lo bahagia gak, sih?"

Kening Erga berkerut hanya beberapa detik. Lagi-lagi Erga hanya menjawab dengan menganggukan kepala membuat Ameeza kesal. "Lo bisu?" tanya Ameeza setengah sewot.

"Hah, apa yang gue pikirin, sih, ya saat narik tangan lo ke sini. Gunanya apa coba? Bahkan buat ngomong pun susahnya kebangetan. Gimana mau dengerin curhatan gue," kata Ameeza diam-diam mengepalkan tangannya kuat.

Erga memang tidak mau ikut campur urusan Ameeza. Tapi, meskipun ia tidak terlihat peduli dengan orang lain. Erga sangat peka dengan keadaan seseorang lewat ekspresi, nada bicara dan bahasa tubuh yang ia lihat dan dengar.

"Siapa yang meninggal dikeluarga lo? Kayaknya lo tersiksa banget dengan kepergian dia?" tanya Ameeza frontal. Ia memang sengaja menanyakan hal sensitif tanpa mau tahu bagaimana perasaan Erga saat ini. Yang Ameeza mau hanya Erga sedikit mengekspresikan diri, menanggapi ucapannya dengan benar. Bukan hanya membisu dan isyarat semata.

Meski samar Ameeza bisa mendengar jelas Erga menghela napas pendek. Tatapan matanya fokus memandangi hamparan tanaman padi yang membentang luas di sana. "Ibu," jawab Erga singkat.

"Lo termasuk anak broken home, yah? Kenapa lo selalu menutup diri sama orang lain? Dan kenapa lo selalu menggunakan isyarat ketika jawab pertanyaan?" tanya Ameeza beruntun.

"Faedah apa yang lo dapat dari nanyain hal semacam itu?" Pandangan Erga berubah sedikit redup, ia menoleh menatap Ameeza yang tampak biasa saja.

Justru bibir Ameeza diam-diam tersenyum. Ternyata caranya berhasil. Ini adalah rekor, seorang Erga bisa berbicara sepanjang ini dengan ekspresi berbeda bukan ekspresi datar. Tanpa sadar Ameeza bertepuk tangan membuat Erga merapatkan bibirnya. "Hebat, gue bisa buat lo ngomong sepanjang ini."

"Gue cuma mau nanya apa hal yang buat lo bahagia?" Ameeza menoleh menatap Erga yang sedang menatap lurus hamparan tanaman padi yang terbentang luas.

Sejujurnya Erga tidak mau menjawab pertanyaan dari Ameeza karena hal itu sangat sensitif. Namun, melihat bagaimana ekspresi penasaran  Ameeza dan sorot mata yang sarat akan tuntutan membuat Erga sedikit malas untuk menanggapi.

Suara gebrakan di kursi kayu yang ada di saung membuat Erga tersentak dari lamunannya. Ia menoleh menatap Ameeza yang sedang menatapnya tajam. "Masih punya mulut? Kenapa diem? Kenapa gak jawab pertanyaan gue?" kesal Ameeza setelahnya ia memalingkan wajah.

"Ibu."

Ameeza menoleh, menatap Erga tepat. "Hah, apa cuma itu kebahagiaan lo?"

Erga diam tak menjawab.

Lagi-lagi Ameeza menghela napas panjang. Kedua tangannya ia tumpukan ke kursi kayu dan kakinya ia ayun-ayunkan. "Gue pernah mikir gini, gue udah punya segalanya, kekayaan, kasih sayang, dan yang lainnya. Pokoknya sampe orang-orang disekitar gue nganggep bahwa kehidupan gue ini sempurna banget. Tapi, gue sama sekali gak bahagia dengan semua hal yang gue miliki sekarang. Yang jadi pertanyaan kenapa gue gak bisa bahagia padahal gue sama sekali gak dalam situasi yang buruk atau terpuruk." Kepala Ameeza tertunduk. "Gue pusing mikirin semuanya, gue ngerasa muak dengan semua drama yang ada di hidup gue. Gue salah gak, sih? Salah gak kalau gue ngeluh sama keadaan gue sekarang?"

Rintik hujan yang kian lama kian deras menjadi jeda dari segala hal yang ingin Ameeza ungkapkan pada Erga. Selama beberapa menit tak ada jawaban dari bibir Erga. Keduanya hanya terdiam dengan pikiran masing-masing.

Kenapa gue harus cerita sama Erga, sih!

Arghh bodoh banget!

Dia 'kan udah kayak orang setengah hidup. Kok bisa gue sefrontal ini nyeritain semua hal yang ada di otak?  Dia mana nger

"Jalani."

"Gimana gue bisa ngejalanin hidup dengan bahagia dan tenang sedangkan hati gue sendiri gelisah. Lo ngerti gak, sih apa yang gue rasain saat ini. Gue—"

"Nganggep diri sendiri tersiksa itu justru hal yang buat lo semakin terpuruk dan sakit." Erga berdiri dari tempatnya ia menyentuh tiap tetesan hujan yang turun dari langit dengan telapak tangannya. "Berhenti posisiin diri lo sebagai orang paling tersiksa."

"Iya, sih. Tapi, apa yang kurang? Padahal gue udah milikin semuanya?"

Erga menunduk menatap air hujan yang jatuh ke tanah dan menciprat ke celananya.  "Rasa syukur."

"Gue ...."

"Harusnya lo tahu apa itu rasa syukur. Dari pada memikirkan yang tidak pasti, lebih baik pikirkan kedepannya apa yang harus dilakukan. Ikutin alur yang udah dibuat Sang Pencipta. Kalau pun mau mengubah, terima resikonya jika nanti hanya dapat kecewa."

Bibir Ameeza kembali terkatup saat Erga menerobos hujan sendirian tanpa mengajaknya.

-oOo-

"Gue ke toilet dulu," kata Ameeza sebelum Melva  mengajaknya ke kantin.

Sebenarnya semenjak kemarin Ameeza sedikit kepikiran soal Erga. Laki-laki itu bahkan tidak hadir di jam pertama. Padahal tasnya ada di kolong meja. Karena itu ia berniat mencari Erga, mungkin laki-laki itu masih berada di sekitar sekolah.

Ameeza mendudukkan dirinya di tangga paling bawah. Keringat sudah bercucuran cukup banyak. Namun, nihil ia tak menemukan Erga di mana pun. Sebenarnya kemana laki-laki itu pergi?

"Aish kebelet beneran gue," dumel Ameeza, ia segera menuju ke kamar mandi yang ada di dekat tangga.

Setelah keluar dari kamar mandi Ameeza hendak berbalik. Namun, samar ia mendengar suara isak tangis dari kamar mandi laki-laki. Kakinya tanpa diminta melangkah mendekati salah satu kamar mandi laki-laki. Lalu membuka pintunya pelan. Ada yang aneh kenapa kamar mandinya tidak dikunci?

"Erga!"

Bola mata Ameeza melotot terkejut melihat Erga yang basah kuyup dengan beberapa lebam di pipi kanan dan luka di bagian telapak tangan kiri. Ameeza memberanikan diri mendekat. Lalu berjongkok, menepuk pipi Erga pelan. "Lo masih sadar."

Ameeza memegang pundak Erga. Namun, tangannya ditepis kuat. Kepala Erga mendongak menatap Ameeza dengan ekspresi sulit diartikan.

"Lo beneran gak apa-apa? Lo di bully?"

"Berhenti."

Dari nada bicaranya Ameeza paham Erga sedang tidak ingin diganggu. Ameeza menggangguk paham. Ia berdiri lalu pergi. Meski ia sedikit khawatir dengan kondisi Erga yang sangat kacau.

Sedangkan Erga, ia berdiri sebentar untuk mengunci pintu kamar mandi. Lalu kembali berjongkok dan menenggelamkan wajahnya. Ada hal yang bahkan Erga sendiri tak mengerti. Perasaan sakit yang teramat dalam. Kejadian yang sama berulang kali terjadi. Ia sempat berpikir apa ini akhir hidupnya? Tapi, setiap pemikiran itu melintas di kepalanya, ada bisikan bahwa Erga tak boleh menyerah dengan keadaan. Semuanya akan baik-baik saja. Sebab itulah ia tidak lebih jauh menyakiti dirinya sendiri.

-oOo-

AMEEZA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang