Pagi itu Tristan dan Nayla keluar dari penthouse beriringan. Seperti tidak pernah terjadi apa-apa diantara mereka.
Selesai makan pagi, mereka segera menuju ke ruang pertemuan.
Seharian mereka berkutat dengan saling argumen dan negosiasi yang berlangsung tidak seimbang sekarang.
Tristan dengan ahlinya memberikan penawaran yang sulit ditolak oleh pihak lawan.
Hingga pada akhirnya Tristan dengan halus mampu menggiring klien nya untuk menyetujui semua penawaran yang ia sodorkan tanpa merasa terpaksa dan keberatan.
Perundingan itu membuahkan hasil yang sangat manis. Dan mereka semua merayakannya di lounge hotel.
Nayla mohon ijin untuk terlebih dulu kembali ke kamarnya.
Saat ia berjalan keluar dari lounge, tiba-tiba James menjajari langkahnya.
"Nay, lo kenapa? Sedang tidak sehat?" tanya James menatap Nayla khawatir.
"Gue gak kenapa-napa, James. Gue cuma capek. Mau istirahat sebentar, lalu beres-beres. Besok pagi kita udah kembali kan?" sahut Nayla membuang pandangannya menghindari tatapan James.
"Mau jalan-jalan? Kebetulan gue mau keluar. Beliin oleh-oleh buat anak bini gue," tawar James.
"Kepingin sih... Tapi gue capek. Lagian ribet jalan sama lo pake heels gini," sahut Nayla.
"Hmm... Lo istirahar dulu, sejam lagi gue tunggu di lobby, kita nyari oleh-oleh. Gimana?" tanya James masih berharap Nayla ikut dengannya.
Nayla berpikir sejenak, lalu mengangguk setuju. Ia pun meninggalkan James menuju kamarnya.
Satu jam berlalu, Tristan masih belum kembali ke penthouse. Nayla menuliskan pesan pada secarik kertas dan diletakkannya di atas meja.
Bergegas ia menuju lobby, menghampiri James yang sudah menunggunya disana.
Lalu keduanya pergi menggunakan mobil yang sudah di pesan James dari hotel.
*******
Nayla masuk ke penthouse dengan membawa dua paper bag hasil berburunya dengan James. Senyumnya terukir manis di wajahnya yang lelah.
"Sudah kembali?" suara berat Tristan menyambutnya ketika Nayla hendak membuka kamarnya.
"Sudah, Sir," jawab Nayla tanpa berbalik melihat CEO dingin yang menatap punggungnya.
Tristan mengetatkan rahangnya melihat Nayla yang acuh padanya. Berbeda dengan semalam saat gadis itu membuatkan kopi untuknya.
Tristan masih sangat ingat ekspresi Nayla saat menyesap kopi begitu nikmat. Juga saat gadis itu membalas ciumannya dengan gairah yang meluap.
Nayla yang dihadapannya kini terasa asing. Tristan enggan mengakui bahwa ia menyukai Nayla yang semalam.
"Apakah anda masih memerlukan saya, Sir?" tanya Nayla tanpa berbalik.
Tristan tersenyum jahil mendengar pertanyaan Nayla dan mendekat.
"Tentu saja," seringainya licik.
Nayla memutar tubuhnya dan terkesiap melihat Tristan sudah berada tepat dihadapannya.
Ia panik. Tapi Nayla tak mau terintimidasi oleh laki-laki dihadapannya ini.
"Tentu saja aku masih memerlukanmu, Nayla," kata Tristan lagi menikmati keterkejutan di mata Nayla. Ia menarik pinggang Nayla dan dirapatkan ketubuhnya sendiri. Mengambil bawaan Nayla dan melemparkannya asal.
KAMU SEDANG MEMBACA
JUST YOU & I
FanfictionCinta tidak selalu menjanjikan keindahan, karena dalam cinta kadang terselip luka. Tetapi, tanpa cinta kita akan kehilangan arah. Dan aku yakin, hanya kau dan aku yang bisa membuat cinta itu terasa indah.