#29

6.4K 356 1
                                    

"Karena aku amat sangat mencintai kamu."

Tubuh Nayla menegang. Matanya membulat. Apa yang didengarnya sangat diluar dugaannya. Lalu apa maksud dari yang ia lihat setahun yang lalu? Kenapa Tristan berbuat itu?

Nayla mendorong tubuh Tristan perlahan. Menatap mata laki-laki yang enggan melepas pelukannya. Nafasnya tertahan.

"Kenapa aku tidak yakin dengan kata-katamu? Cinta itu bukan untuk main-main, Tristan. Sebaiknya jangan pernah mengatakan cinta kalau kamu tidak bisa mengerti apa itu cinta," kata Nayla tajam. Ia tidak mau terluka lagi.

"Aku tidak pernah main-main jika menyangkut soal perasaan. Aku mencintaimu sungguh-sungguh," Tristan mencoba meyakinkan Nayla.

Nayla menggeleng pelan.

"Aku tidak pernah mau dan tidak pernah ingin menjadi orang ketiga dalam sebuah hubungan. Karena aku tau bagaimana rasanya dikhianati oleh orang yang kita cintai," setetes air bening mengalir turun dari mata indah Nayla.

"Beri aku kesempatan untuk membuktikannya, Nay," pinta Tristan sungguh-sungguh.

"Bukan aku gak mau ngasih kamu kesempatan, tapi aku tidak bisa menjadi orang ketiga dalam hubungan kamu dengan Priska. Aku tau, kamu pasti mau bilang kamu gak ada hubungan apa-apa dengan Priska kan? Semua laki-laki sama saja," sahut Nayla cepat. Ia tidak tau dari mana ia mendapatkan kekuatan untuk mengatakan semua itu.

Tristan mendesah, membuang nafas kasar.

"Nay, aku akan jelaskan semuanya tentang kejadian itu. Aku hanya minta satu kesempatan untuk membuktikannya padamu," kata Tristan lelah.

"Aku ingin, Tristan. Tapi aku takut... Takut merasakan lagi sakit itu," Nayla mulai terisak.

Tristan meraih Nayla, memeluknya dan membisikkan kebenaran kejadian setahun yang lalu antara dirinya dan Priska di sofa ruang kerjanya. Ia berusaha meyakinkan Nayla, bahwa ia sungguh-sungguh mencintai Nayla dengan seluruh hidupnya, disetiap helaan nafasnya.

*******

Nayla melangkah masuk ke rumah mungilnya, merebahkan tubuh penatnya di sofa ruang tamu.

Digo benar-benar tidak memperbolehkannya pindah ke cabang yang baru. Dan sekarang ia kembali ke Kuta, Bali. Tempat ia bekerja satu tahun terakhir ini.

Sepulangnya dari Paris, perasaannya menjadi ringan. Kota itu benar-benar kota cinta yang penuh romansa. Kota penuh keajaiban karena para cupid beterbangan dimana-mana, siap membidikkan panahnya pada mahluk-mahluk yang disebut manusia.

Disana ia memulai semuanya dari awal.

Perjumpaannya kembali dengan Tristan, kegigihan Tristan membawanya pada sebuah pengertian tentang sisi lain yang tidak terlihat olehnya tentang kejadian satu tahun silam.

Dan disana pula ia menyadari bahwa Tristan sudah meluruhkan semua beban hati dan pikiran yang menghimpitnya selama ini.

Tristan membuktikan besarnya rasa cinta untuknya. Pembuktian betapa Tristan sanggup memegang kesetiaan selama ia lari menjauh.

Namun, luka tetaplah luka. Ia tidak mampu menjawab pertanyaan Tristan atas pernyataan cinta yang sudah diucapkan oleh laki-laki jangkung itu.

Ia membutuhkan kesendirian untuk dirinya sendiri beberapa waktu lamanya.

Dan Tristan berjanji akan menunggunya hingga ia mampu mengatakan bahwa ia siap merajut langkah bersama Tristan lebih jauh.

Bahwa untuk saat ini, ia ingin memulai semuanya dengan kata teman.

Terdengar pintu diketuk. Dengan malas Nayla menyeret langkahnya membukakan pintu.

Nayla terpukau. Tristan berdiri disana dengan senyum dan tatapan penuh luapan rindu.

"Kamu? Kenapa kemari?" tanya Nayla setelah ia mampu mengembalikan otak warasnya pada tempat seharusnya berada.

"Maaf, Nay, aku benar-benar payah! Aku tidak sanggup jauh darimu," ujar Tristan tersenyum kecut.

"Tapi," Nayla hendak memprotes, tapi Tristan menyelanya.

"Aku mengalihkan tanggung jawab proyek two in one hotel Digo dan Hypermarket milikku pada diriku sendiri. Jadi dengan begitu, aku bisa melihat dan menjumpaimu kapanpun aku mau," jelas Tristan tertawa mengejek dirinya sendiri.

Nayla tersenyum geli. Ia baru tau bahwa seorang Tristan yang cool, yang dijuluki angel of death, ternyata bisa bertingkah seperti remaja yang mabuk cinta.

"Mau kopi?" tawar Nayla membuka pintunya lebih lebar dan membiarkan Tristan masuk.

"Amat sangat mau," sahut Tristan tertawa, lalu melangkah masuk.

*******

Sore itu di pantai Kuta, senja ke seratus enam puluh delapan sejak Tristan memimpin sendiri proyek two in one nya bersama Digo. Ia berdiri bersama Nayla menatap matahari merah perlahan membenamkan diri ke peraduan cakrawala.

"Nay," panggil Tristan melirik Nayla yang berdiri di sebelahnya.

"Hmm?" Nayla masih memandang batas cakrawala yang mulai menenggelamkan sang surya.

"Gak berasa hampir enam bulan kita temenan, apa aku udah boleh ngarep yang lebih ke kamu? Maksud aku... Aku sayang kamu, Nay. Aku cinta sama kamu. Dan aku gak bisa hidup tanpa kamu," kata Tristan meraih bahu Nayla dan menghadapkan padanya.

Latar belakang sunset membuat suasana romantis begitu saja tercipta. Tiba-tiba Tristan berlutut dengan tangannya masih menggenggam jemari Nayla.

"Nay, maukah kamu menjadi kekasihku lagi?" tanya Tristan lagi menatap lekat mata Nayla.

"Alay ah... Ayo berdiri, malu tuh diliatin orang-orang," komentar Nayla tertawa geli.

"Kok gitu sih jawabannya? Aku gak akan bangun sebelum kamu jawab pertanyaan aku," kata Tristan tetap berlutut.

Bersambung

Don't miss the last part...
Happy reading guys....

JUST YOU & ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang