***
Rasti pergi siang tadi, menyisakan mereka berdua di rumah itu. Mbak Siti juga mendadak izin karena anaknya sakit. Mungkin dalam beberapa hari, pekerjaan rumah akan di handle oleh Jihan.
Belum lagi, tamu bulanannya telah selesai. Rasti sudah bertanya sebelum berangkat ke Kota, yang artinya Tuan Lintang akan menagih haknya malam nanti.
Mengingat itu, jantung Jihan berdegub tidak karuan. Bagaimana ini? Dia sudah tidak bisa menghindarinya kali ini...
Tapi Jihan sudah memantapkan tekadnya untuk menunda dulu kehamilannya. Bukan tanpa alasan, meski itu sudah menjadi kewajibannya. Tapi Jihan tentu belum sanggup. Tidak setelah ia melihat adegan siang tadi!
"Siapkan Saya air panas untuk mandi!"
Lintang baru saja pulang bekerja. Jam setengah 6 sore, tidak ingin membuat suaminya menunggu terlalu lama, gadis itu langsung bergerak mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Lintang.
Kemudian, Jihan ingat sesuatu. "Di kamar atas atau bawah, Tuan?"
"Bawah. Malam ini jadwal saya tidur sama kamu kan?" ucapan Lintang berhasil membuat dada Jihan bergemuruh. Degub jantungnya semakin menggila.
Jihan menelan ludahnya kemudian mengangguk. Berjalan meninggalkan Lintang di ruang tamu dengan ponselnya, Jihan bergegas menyiapkan apa yang diminta oleh sang suami.
Suami? Pipi Jihan terasa panas menyebut itu dalam hatinya.
Ah, andai pernikahan mereka murni karena saling jatuh cinta, pasti malam nanti akan terasa indah. Jihan membayangkan bagaimana rasanya jika mereka melakukannya karena cinta, ah bodohnya... mereka melakukannya karena tanggung jawab! Karena Jihan sudah terikat dengan janjinya. Gadis itu menghela nafas berat, tidak ada yang indah menurutnya, meski Tuan Lintang tampan, tapi pria itu suami sah ibu Rasti, dan cintanya tentu untuk wanita itu.
Apa yang ia harapkan?
***
Lintang sedang duduk sambil menyenderkan punggungnya pada kepala ranjang dengan mata yang fokus menatap layar ponsel. Jihan tidak mengerti kenapa Lintang senang sekali berlama-lama menatap layar terang itu, karena ia sendiri tidak memilikinya. Jihan bahkan tidak mempunyai benda semacam itu!
"Ini Tuan teh hangatnya," ujar Jihan ketika sampai di dekat ranjang sambil membawa teh hangat di tangan.
"Kamu simpan di nakas," kata Lintang tanpa menoleh. Matanya masih fokus pada benda pipih di tangan pria itu.
Mengangguk patuh, Jihan meletakkan teh tersebut di nakas.
"Kuharap Tuan menikmatinya sebelum tehnya dingin..." kata Jihan sebelum berlalu pergi.
"Hmmm..." sahut Lintang acuh.
Mendengar jawaban singkat Lintang, Jihan menghela nafasnya kemudian berbalik. Dia belum mencuci piring bekas mereka makan. Lebih tepatnya, bekas Lintang makan sedangkan dia tetap pada tempatnya---makan di dapur sendirian. Lintang bahkan tidak repot-repot untuk mengajaknya makan malam bersama padahal status mereka suami-istri!
"Kamu mau kemana?" Mendengar suara pintu terbuka, Lintang menatap penuh selidik Jihan yang berdiri kaku di dekat pintu. Gadis itu menoleh dengan senyum canggung.
"Ma-masih ada pekerjaan, Tuan. Piring dan gelas masih di bak pencucian piring.."
"Lupakan itu, duduklah disampingku!" Permintaan penuh dengan nada perintah itu membuat Jihan menahan nafasnya sejenak.
Apakah jika ia menurut, Tuan Lintang akan langsung menyentuhnya?
Apakah malam ini akan benar-benar terjadi? Maksudnya, malam dimana dia harus melayani Tuan Lintang?
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Mudaku
RomanceLintang Nareswara berharap jika dia bisa mendapatkan keturunan dari istrinya, Rasti. Tapi takdir selalu berkata lain, Rasti hamil... namun kehamilannya selalu mengalami keguguran. Putus asa dan merasa bersalah tentu menguasai hati seorang ibu yang...