"Bu.... ibu...." Jihan, gadis berusia 18 tahun tersebut memasuki rumahnya yang sederhana. Bukan hanya sederhana, tapi rumah yang terbuat dari bilik anyaman bambu tersebut memiliki beberapa tambalan karena bolong di beberapa sisinya.
"Iya, Nduk... Ibu di dapur!" Sahut ibunya sambil memasukan kayu bakar ke tungku.
Jihan menghampiri wanita paruh baya yang sudah melahirkannya itu. Wajah tua namun ayu tersebut membuat Jihan merasa kasihan. Ibu seharusnya bisa bahagia di usianya yang sudah tidak muda lagi. Jihan bertekad dalam hatinya bahwa ia harus membahagiakan ibu apapun caranya.
"Bu... Bu... Jihan boleh kerja, ya... Bu?"
"Loh, kan kamu sudah kerja, nak. Mau kerja dimana lagi?"
Jihan membrengut mendengar ucapan ibunya. Karena bagaimana pun juga, ibu pasti nggak mengizinkan Jihan untuk bekerja.
"Jihan juga punya mimpi, Bu... pengen renovasi rumah kita, jadi Jihan pengin kerja yang gajinya besar!"
"Kerja apa, Nduk?" Wanita itu mendesah, selama ini dia memang hanya bekerja sebagai buruh pemetik teh di perkebunan milik Juragan Prapto.
Jihan bersemangat sekali hingga duduk di hadapan ibunya.
"Budhe Ningsih bilang, ada lowongan pekerjaan di rumah Juragan Lintang, Bu. Butuh buat bantu bersihkan rumah. Banyak sekali yang mau kerja disana, tadi Budhe bilang aku juga punya kesempatan buat kerja disana kalau mau!"
"Tapi nanti ibu tinggal sendiri, Jihan. Ibu nggak bisa jauh dari kamu!" Wajah wanita tua itu memelas, mengiba pada putrinya agar mengurungkan niat untuk bekerja jauh meninggalkan dia sendirian.
Sebenarnya, rumah Juragan Lintang hanya berjarak 1 jam dari kotanya, tapi tetap saja... Lasmi tidak suka ide bahwa putrinya akan tinggal jauh darinya.
"Sebulan sekali Jihan izin pulang ke rumah. Katanya Juragan Lintang dan istrinya juga baik dan pengertian, Bu."
Keinginan besar Jihan tidak bisa luluh begitu saja. Lasmi tahu betul sifat putrinya itu. Menjadi janda setelah ditinggalkan oleh suaminya membuat Lasmi tidak suka jika Jihan berniat meninggalkannya sendirian. Jihan adalah anak satu-satunya yang ia miliki, jadi perasaan takut kehilangan ini tidak salah kan?
"Ibu kesepian, Jihan. Ibu juga sering sakit-sakitan. Nanti kalau kamu nggak ada, siapa yang jagain ibu?"
Jihan bimbang. Dilema menyergap perasaannya. Tapi jika dia tida bekerja, dan menolak tawaran dari Budhe Ningsih, Jihan akan kehilangan kesempatan untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah agar bisa segera merenovasi rumahnya yang bisa dibilang tidak layak lagi. Beberapa bagian memiliki sisi-sisi yang bolong—kebetulan sudah ditambal dan itu sangat menganggu pikiran Jihan.
"Kalau Jihan kerja, Ibu nggak usah kerja lagi. Tiap bulan gaji Jihan untuk ibu. Juga kalau ada uang lebih Jihan akan nabung buat biaya renovasi, Bu. Ibu tahu kan, genting rumah kita sudah banyak yang bocor, Bu. Dan itu bikin nggak nyaman saat kita tidur."
"Iya, nduk. Ibu paham kok. Tapi ibu nggak ada temen dirumah. Biarlah rumah kita seperti ini, asalkan kita bisa hidup bersama. Ibu takut, Jihan. Ibu nggak mau jauh dari kamu..."
Jihan mengerti. Keadaan lah yang membuat ibunya sangat mengkhawatirkannya. Terbiasa hidup berdua membuat ibunya takut jika terjadi hal-hal yang tidak di inginkan.
"Yaudah, deh bu. Jihan mau ke rumah Budhe Ningsih dan bilang kalau Jihan menolak tawaran pekerjaan itu." Kesedihan nampak jelas pada raut putrinya. Tapi Lasmi memang tidak bisa tinggal jauh dari Jihan, anak semata wayang yang sangat ia cintai.
"Maaf ya, nduk. Gara-gara ibu kamu nggak bisa seperti teman-temanmu yang lain." Diusapnya puncak kepala Jihan penuh sayang.
"Ini sudah takdir, Bu. Sudah, aku pergi dulu..." Jihan berlalu pergi usai mencium punggung tangan ibunya. Lasmi bisa melihat kekecewaan dalam wajah Jihan kala putrinya meninggalkan rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Mudaku
RomansaLintang Nareswara berharap jika dia bisa mendapatkan keturunan dari istrinya, Rasti. Tapi takdir selalu berkata lain, Rasti hamil... namun kehamilannya selalu mengalami keguguran. Putus asa dan merasa bersalah tentu menguasai hati seorang ibu yang...