15.

10 1 0
                                    

Tidak ada orang yang terbiasa dengan penderitaan yang otomatis-

°°°°°°°

"Mbak sudah putuskan. Kamu boleh memilih keputusan ini, untuk tetap tinggal disini. Tapi ingat! Selalu mawas diri dan berhati-hati."

Mahen tersenyum sumringah, lalu ia memeluk Dira dengan erat. Menyalurkan rasa terimakasih atas semuanya yang telah dilakukan kakaknya itu.

Dira melepaskan pelukannya lalu mengusap gemas rambut Mahen.

"Oh ya nanti mbak mau keluar sama temen. Kamu harus ikut, mbak masih takut kalau kamu ditinggal sendiri." Mahen hanya menurut saja perkataan Dira. Karena baginya semua yang Dira lakukan adalah demi kebaikan nya bersama.

Siangnya mereka bertiga tengah menuju sebuah taman yang sangat cocok untuk bersantai ria.

Setelah mobil Wika terparkir mereka langsung turun dari mobil, tak lupa juga membawa barang-barang yang akan digunakan untuk berpiknik.

Mahen bertugas menggelar karpet, Wika membeli es krim sedangkan Dira menata makanan yang dibawa oleh Wika dari rumah.

Tenang, kali ini Wika yang menanggung semuanya.

Bukannya apa, namun Dira juga merasa tidak enak jika merepotkan Wika seperti ini tetapi apa boleh buat. Wika sendiri yang meminta, ia juga tidak bisa apa-apa.

"Em, Nad, lo hari ini nggak ada kerjaan kan?"

"Nggak Wik, gue juga ambil libur dulu." Wika mengangguk lalu tatapannya beralih pada ada Mahen.

"Mahen sekolahnya sama kaya kita ya?"

"Iya kak, biar nggak jauh-jauh dari mbak Dira."

Mereka mulai berbincang-bincang mengenai berbagai hal. Mahen melihat kakaknya yang sangat berbeda ketika dirumah, disini lelaki itu melihat guratan bahagia muncul di wajah kakaknya.

Mungkin setelah ini, Mahen akan sering mengajak Dira berpergian merefresh otak dan pikiran.

"Lo tau gak sih? Bapaknya si lampir itu udah meninggal." Wika dengan santainya memakan camilan yang dibawanya sedangkan Dira sekuat tenaga menahan gejolak amarah yang masih mendasari relung terdalam hatinya.

"Katanya meninggal karena persaingan bisnis. Terus keluarganya bangkrut, nggak tau deh nanti pas masuk sekolah si Lampir itu masih punya nyali atau enggak."

"Nggak tau gue."

Ya, hanya itu yang mampu Dira katakan. Dirinya berdoa semoga saja setelah kejadian itu hidup Dira akan tenang walaupun masih tersisa rasa sakit setiap kali Ia mengingat mendiang ibunya.

Wika menghela nafas lega. "Moga aja abis ini tu Lampir nggak ganggu lo lagi."

"Mahen beneran baru kelas 10?"

Pria yang ditanya itupun  mengangguk lalu tersenyum tipis. "Iya kak."

Wika menampilkan raut wajah terkejutnya. Sampai-sampai mulutnya menganga lebar. Matanya pun juga ikut melebar. Kalau saja tidak diusap oleh Dira mungkin mulutnya akan kemasukan lalat dan matanya yang lepas dari tempatnya.

VALENCIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang