"Kak Tara! Permisi,"
Aku akhirnya sampai di rumah kak Tara setelah sebelumnya membeli beberapa obat dan makanan. Dengan insting saja aku membelinya, tanpa berpikir mungkin keluarganya di rumah sudah banyak mempersiapkan hal untuk merawatnya. Sudahlah.
Tak lama, seorang pria paruh baya keluar dari rumah itu. Ia mengernyit, menatapku curiga dengan kedua netra yang terhalang kacamata beningnya itu.
"Siapa, ya?" Tanya beliau.
"Permisi, aku temannya Kak Tara. Tadi dia nelpon katanya sakit."
"Oh?"
Ia terlihat segan menerimaku. Kupikir aku sudah seramah mungkin. Cih, lagi-lagi penampilan?
"Jesse?" Panggil suara parau yang kemudian muncul dari dalam.
"Kak Tara?! Eh, kenapa kakak keluar?!"
Tak hanya aku yang panik, pria itu juga terkejut dengan kedatangan anaknya yang terlihat lemas lesu, memaksakan diri untuk menemuiku.
"Kok kamu keluar, nak?"
"Itu temen aku, pah. Yang baru aku bilang tadi, Jesse."
"Oh dia? Maaf ya nak Jesse, ayo silahkan masuk."
Aku mengangguk tanpa berkata apapun, dan segera masuk menuju kamar kak Tara. Orang yang sedang aku jenguk itu kembali berbaring sambil mengerang.
Wajahnya merah sekali seperti kepiting rebus. Ingin aku nasihati habis-habisan karena tidak mendengar perkataanku kemarin, tapi melihat keadaannya membuatku tak tega.
"Astaga, liat siapa yang lagi terbaring lemah tak berdaya di sini."
"Berisik kamu!" Omelnya sambil terbatuk-batuk, "Bisa-bisanya aku kayak orang mabuk, gak sadar kalo nelpon kamu dan bilang aku sakit."
Aku tertawa kecil, "Kapan mau sembuh sih kepala batunya? Aku kan suruh kakak jangan ke mana-mana."
"A-aku gak ke mana-mana...." Ia memalingkan matanya.
"Kak Tara pikir aku gak tau, ya? Sepatu kak Tara yang dipake dua hari lalu masih bersih, pas aku masuk tadi dan liat rak sepatu, sepatunya kotor banyak tanah dan rumput. Kak Tara habis berkebun, hah?"
Ia tak bisa berkutik dan masih tidak ingin melihatku, "Orang jenius memang mengerikan," Gumamnya.
Aku mendecak, "Lagian yang sakit ini masa bajunya tipis gitu?! gak pake kaos kaki juga, tau cuaca lagi dingin. Mana sini aku pakein kaos kaki!"
"Dingin apa Jess—" Ia menghentikan ucapannya saat melihat ke arah jendela. Dalam perjalanan tadi memang sudah mendung, dan hujan baru saja turun.
"Apa? Mau ngomong apa? Pokoknya pake kaos kaki! Permisi, aku acak-acak!"
Aku langsung membuka lemari bajunya kemudian mengambil sepasang kaus kaki yang langsung kutemukan.
"Dasar gak sopan," Omelnya lagi.
Aku memasang kaos kaki itu pada kedua kakinya, "Kak Tara ngeyel terus habisnya. Udah makan? Minum obat? Aku bawa bubur."
"Aku gak suka bubur."
"Terus aku harus ngasih makan kwetiau? Kalo gak suka bubur aku bikin sup krim, deh. Minjem dapurnya, ya."
"Astaga Jesse, kamu ini rawat orang sakit atau kucing sih? Capek tau denger omelan kamu."
Aku tersenyum miring, "Aku suka kok ngerawat kucing."
Setelah keluar dari kamarnya, aku pergi menuju dapur. Rumah kak Tara tidak begitu besar, jadi sekali turun tangga pun aku sudah bisa melihat di mana letak dapurnya. Aku berencana izin meminjam dapur pada orang tuanya, namun rumah ini sepi sekali. Apa sedang tidak di rumah?
KAMU SEDANG MEMBACA
A Little Piece of Ours
Teen FictionAku sayang kamu, tapi aku takut kehilangan sobat sehebat kamu. //Mengandung bahasa kasar gaes, hehe\\