Warna : Cerita dari Jesse

6 0 0
                                    

Kamu anak yang baik. Kamu punya banyak warna yang bisa kamu bagikan untuk kebahagiaan semua orang.

Begitu yang dikatakan keluargaku. Aku mendapat banyak kasih sayang dari kedua orang tuaku, nenek, juga saudara-saudara lain. Bahkan aku banyak belajar banyak hal, dengan harapan aku bisa menjadi seorang manusia yang bisa diandalkan oleh semua orang dan diri sendiri.

Ayah mengajariku bela diri sejak aku berumur 5 tahun. Bunda juga tak mau kalah selalu mengajakku untuk membantunya membuat kue. Membuatku selalu penasaran dengan menu kue yang baru.

Babushka (nenek dalam bahasa Rusia) selalu dengan bersemangat mengajariku bahasa Rusia, juga dengan cerita masa lalunya yang selalu saja menarik. Bahkan bakat bermusiknya juga senantiasa ia turunkan padaku.

Dirawat bagai anak emas, aku bahagia dengan kehidupanku ini. Tak pernah sedikitpun lupa untuk bersyukur. Bahkan kala aku duduk di bangku SMP, aku mulai menemukan kebahagiaanku yang lain. Warna yang baru.

Aku bertemu seorang wanita tangguh, kakak kelasku. Namanya Natara Hazhu, kelas B dari dua kelas tahun ketiga. Padahal sudah dua tahun aku menimba ilmu di sini, kenapa aku baru menyadari kehadirannya?

Ia punya pribadi yang cuek, kasar, dan tidak banyak bersosialisasi. Namun jika sendirian, justru ia menjadi lebih tenang dan cukup ceroboh. Bahkan senyuman lembutnya itu hanya bisa dilihat ketika ia mengelus kucing liar. Semua sikapnya di publik itu seolah hanya sebuah topeng kebohongan yang gunakan untuk menutupi sesuatu, entah apa.

Membuatku ingin selalu berada di sisinya, kemanapun bersamanya.

Namun aku terlalu payah, beberapa kali berpapasan pun aku hanya bisa menundukkan kepalaku meskipun aku sudah punya rencana untuk menyapa.

Tanpa sadar membuatku menjadi penguntitnya. Dalam diam aku memperhatikan kesehariannya di sekolah, dengan siapa ia mengobrol, dengan siapa ia berseteru, apa makan siangnya, di mana ia makan, gosip apa yang orang lain bicarakan tentangnya di belakang, hingga bagaimana ia meninju seorang siswa yang menjahilinya. Semakin hari rasa suka ini semakin besar. Aku tenggelam dalam perasaanku sendiri yang sudah terlampau banyak ini.

Suatu hari, sepulang sekolah, aku melihatnya sedang memandangi sebuah toko kue. Ia tampak tergiur dengan sepotong cheesecake blueberry yang terpajang.

Keputusanku bulat, ini kesempatanku!

Keluargaku benar, dengan semua keahlian ini, aku ingin berguna bagi orang lain juga untuk diriku sendiri. Aku akan membuat cheesecake itu untuk kak Natara. Meskipun sejenak aku kembali ragu, aku yang tampak payah dan sangat tidak menarik ini apa dirinya akan membalas perasaanku?

Karena benar firasatku, aku memang berhasil berbicara dengannya setelah lama mengaguminya dalam diam. Dia menyukai cheesecake buatanku, senyuman lembut yang hanya ia berikan pada kucing liar itu bisa aku lihat kembali tepat di hadapanku.

Aku pun segera menyatakan perasaanku yang sudah lama terbendung itu, "Aku sebenarnya menyukai kak Tara."

Hening, tidak ada jawaban. Bahkan ia berhenti mengunyah dan menyimpan sendoknya.

"Tapi aku tidak, terima kasih cheesecake-nya."

Aku bahkan tidak sadar kalau dirinya sudah pergi. Aku terlalu syok dengan jawaban itu dan pikiranku seketika melayang entah ke mana. Rasa sakit hati pertamaku, ternyata rasanya sesak sekali. Aku tak bisa berpikir jernih, apa yang harus aku lakukan setelah ini?

Padahal dia terlihat sangat bewarna kala menikmati cheesecake buatanku. Ia sangat menyukainya, namun aku malah mencuri setengah porsi kebahagiaannya dalam cheesecake yang tinggal setengah potong itu.

Setelah kejadian itu, aku semakin tidak berani bertemu dengannya, bahkan enggan menatap matanya. Namun aku tetap dalam diam memperhatikannya dari jauh.

Terus seperti itu hingga hari kelulusan tiba. Aku ikut bahagia melihat wajah bahagianya, lulus menjadi salah satu siswa peringkat 10 besar seangkatan. Namun mungkin selamanya aku tidak akan pernah melihat sosoknya lagi.

Anehnya, perasaan suka ini masih saja mengikatku.

Setelah kupikir masalahku hanya sampai di situ, ternyata aku harus kembali dihantam masalah yang lebih besar.

Orang tuaku bercerai, tepat 3 bulan setelah babushka meninggal dunia.

Sebuah kehidupan keluarga yang sangat indah dan nyaman sebagai tempat pulang telah hancur. Alasannya karena ternyata ayahku seorang pria bejad. Berselingkuh dengan beberapa wanita dalam diam, dan akhirnya ketahuan oleh bunda.

Aku tak bisa berbuat apapun, aku hanya mengiyakan semua permintaan mereka, dan berakhir dengan paksaan harus tinggal bersama ayah yang bejad itu. Setiap hari pulang dengan keadaan mabuk, bahkan selalu membawa wanita yang berbeda ke rumah. Membuatku muak, aku lupa apa itu kebahagiaan, apa itu rasa bersyukur. Dan aku kehilangan semua warna itu. Hanya ada monokrom.

Semua emosi itu aku luapkan dengan pemberontakan yang cukup umum. Bergabung dengan geng berandal kala SMA. Aku juga mulai merubah penampilanku, mewarnai rambut, menindik telinga juga membuat tato. Aku sering bolos kelas, keahlian bela diriku sangat bisa diandalkan untuk ribut beradu pukul dengan orang yang mengusikku. Mencoba rokok dan minuman alkohol, kini aku sama bejadnya seperti ayahku.

Setelah 3 tahun hidup seperti itu, aku kembali mendengar kabar buruk. Ayah meninggal karena serangan jantung.

Mendengar kabar itu aku hanya tertawa sambil bersyukur, akhirnya pria tua itu pergi juga dari hidupku. Kupikir aku akan mendapat kebahagiaan yang lain, namun justru hidupku semakin hancur. Satu tahun hidup secara liar tanpa ada keluarga sanak saudara yang segan merawatku, bagaikan hidup dalam kegelapan dunia.

Hingga aku bisa kembali melihat cahaya. Bunda kembali menemuiku, sambil menangis ia merangkul tubuh kotor dan hina ini.

"Jesse, boleh bunda minta satu hal lagi padamu? Kembalilah bewarna, bunda menyesal, dan tidak akan meninggalkanmu lagi."

"Bunda, aku sudah sangat lama hidup dalam keterpurukan. Menurut bunda aku bisa kembali?"

Bunda mengusap pipiku lembut. Aku pernah membaca salah satu buku, dan aku mulai paham setiap kata-kata, juga tatapan indah matanya. Malaikat yang bisa kita lihat di dunia ini hanyalah seorang ibu.

Setelah sekian lama, air mataku kembali mengalir. Bahkan lebih banyak karena sudah lama sekali terbendung. Aku memeluk erat bunda dan dengan mengikuti kata hati, aku mengangguk.

Sebulan kemudian aku menatap pantulan diriku di cermin. Banyak sekali bekas kekerasan pada tubuh ini. Meskipun aku tidak lagi dalam kegelapan, tetap saja sifat yang sudah melekat selama 4 tahun ini tak akan bisa hilang, dan warnaku tetap monokrom. Namun tidak masalah, setidaknya sosokku yang baru ini sudah bisa aku jinakkan. Aku mulai melanjutkan pendidikanku, babushka pernah bilang padaku, belajar bahasa Jerman mungkin akan sangat menarik. Jadi aku mewujudkannya di bangku kuliah ini.

Aku kembali menemukan kebahagiaan dan perasaan bersyukur pada kehidupan kala melihat seorang wanita yang sedang tertawa bersama temannya. Semesta terlampau baik padaku, menciptakan takdir untukku bertemu dengannya sekali lagi.

"Kak Tara, apa kabar?"

Aku bersyukur aku telah berubah. Tidak seperti sebelumnya dengan sifat payahku, tak bisa menatap matanya sedikitpun, kini dengan penuh percaya diri aku bisa menempatkan langkahku sejajar dengannya. Mulai sekarang, aku akan kembali mengumpulkan warna dalam hidupku yang baru ini.

.

.

.

A Little Piece of OursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang