"Hahh!" Sampai juga ia dimobil. Karna seperti biasa, udara Jakarta selalu panas.
Vanya mengibaskan rambutnya kebelakang. Segera, ia mendudukkan dirinya di jok belakang. Meletakkan mainan mainan Gavriel disebelahnya.
"Iel puas main hm?"
Gavriel yang ditanya, ia menolehkan kepalanya kebelakang. Dikira mau menganggukan kepala, taunya bocah itu malah menggeleng keras.
"Belum kak Anya. Iel masih pingin main...
Iel gak mau pulang ah," katanya dengan tatapan matanya yang mengarah pada mainan ditangannya.Revan yang baru saja mengeluarkan mobilnya dari parkiran, ia sedikit menoleh ke adiknya. Rasa ingin membuang jauh jauh. Gak tau apa, uang udah ludes masih minta nambah.
"Bodo amat kita balik," ujar Revan tidak peduli.
Gavriel menatap sinis Revan. "Yaudah bodo amat. Kan Iel bilangnya ke kak Anya. Wlee," sahut Gavriel menjulurkan lidahnya.
"Dih! Gue lempar ke sungai tau rasa lo," balas Revan tak mau kalah.
"Yaudah tinggal bilang unda."
"Bilang aja kalo bisa. Lo kan udah gue buang. Gimana bilangnya."
"Kan kan, ikatan batin unda sama Iel kuat. Nanti Iel bilang lewat hati, unda, tolongin Iel. Bang Evan buang Iel ke sungai. Gitu."
"Sok iye lu. Pake ikatan batin segala. Lo kira sinetron."
Begitu seterusnya, dua saudara itu terus saja berdebat. Sampai, Vanya baru menyadari, kemana hilangnya sikap dingin suaminya?
Eh? Suami? Entah, tapi Vanya mulai terbiasa dengan kata itu. Bagaimanapun, ia harus terima kenyataan kan? Walaupun, masih ragu juga untuk bisa menaruh rasa pada orang menyebalkan seperti Revan.
"HUWAAAAA kak Anyaaaa! Kak Anya bang Evan jahatt! Iel gak suka sama bang Evan. Iel mau ke belakang sama kak Anya. Huwaaaa!"
Vanya tersadar dengan lamuannya. Ia menengok ke Gavriel yang sudah menangis kejer. Bahkan air mata anak itu sudah kemana mana.
Ia segera membawa Gavriel kepangkuannya. Menenangkan anak itu supaya tidak lagi menangis.
"Iseng banget sih lo! Untung langsung diem," ujar Vanya setelah Gavriel terdiam.
Dan, Revan hanya mengangkat kedua bahunya, acuh. Lagipula, adiknya dulu yang memulai. Gavriel dulu yang membuat jiwa debatnya keluar.
"Kak Anya, bang Evan jahat! Masa abang bilang Iel bukan anaknya unda," rengek Gavriel. Ia menenggelamkan kepalanya ke dada Vanya.
"Udah, abang kamu itu cuma iri sama kamu. Makannya dia bilang gitu. Bang Evan bohong kok. Nanti biar kak Anya marahin abang."
"Ngapain juga iri sama bocil," sahut Revan yang masih fokus menyetir. Vanya melotot untuk itu.
🦋🦋🦋
"ASSALAMUALAIKUM. Tumben sepi ni rumah. WOE MANUSIA. KELUAR LO."
"Kak Anya blisik. Telinga Iel sakit ah." Gavriel menggosok gosok kedua telinganya. Sedangkan Vanya hanya menyengir dan melanjutkan jalannya. Lupa kalau ada Gavriel disebelahnya. Aduh, hilang sudah harga dirinya.
"Lah!? Kok elo Van?"
Revan maupun Vanya membulatkan mata melihat siapa yang keluar dari dalam. Revan sendiri bingung. Bukannya, tadi mereka gak jadi pergi? Kenapa ada disini.
Aldi yang masih bingung, ia menatap Vanya dan Revan bergantian. Katanya, Vanya lagi pergi bareng temennya tadi. Kok, malah jalan berdua sama Revan?
KAMU SEDANG MEMBACA
REVANYA
Teen FictionCerita klasik soal Revan, Vanya, dan perjodohan. Start: 27/12/20 End: 28/06/21