10. khawatir?

35.4K 2.7K 163
                                    

Blam!!

Pintu mobil tertutup dengan sempurna. Vanya membenarkan seat belt nya. Setelah terpasang, Vanya meletakkan ponselnya di dashboard mobil.

Revan melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Lima menit awal tidak ada yang berbicara. Revan fokus menyetir. Sedangkan Vanya sibuk mengamati jalanan yang ramai dengan kendaraan karena ini juga jam pulang.

"Muka lo kenapa merah?" Tanya Revan tanpa menoleh. Matanya fokus melihat ke arah depan. Padahal lampu lalu lintas menunjukan lampu merah.

Vanya menengok sejenak. Ia sadar jika pipinya memang agak merah. Dan itu gara gara Diva yang gak punya otak.

"Tadi Ada nyamuk. Nyamuknya gue tampar," thats good! Pinter banget sih Vanya.

Revan memicingkan wajahnya. "Gue gak sebodoh itu," kekeuh nya. Tamparan nyamuk tidak akan semerah itu. Karna, masa iya mau nampar diri sendiri sekeras itu.

Hanya orang bodoh yang melakukan itu.

Lagi, Revan berhasil membuat otak Vanya berfikir keras. Mencari alasan untuk menghindar. Bukannya apa apa, Ia hanya takut Revan mengadu pada mama nya. Mungkin aja kan?

"Ck! Serah lu dah mau percaya mau enggak. Yang penting gue udah ngomong jujur,"

Lampu sudah berganti hijau. Revan menancapkan gas mobilnya kembali.

"Dari kapan jujur jadi sinonim nya bohong?" Tanya Revan lagi.

Pusing memikirkan jawaban, Vanya memilih untuk kembali melihat jendela. Membiarkan Revan tidak mendapat jawaban.

Tanpa bicara, Revan menyodorkan ponselnya. Memberikan benda pipih itu pada Vanya.

Lantas Vanya mengernyit tidak paham. Ia asal mengambil saja ponsel milik Revan. Baru Ia bertanya, "buat?"

"Buka," sahut Revan cuek. Asal Vanya tau, Revan tidak suka pembohong. Apalagi dia sendiri yang di bohongi.

Sesuai perintah, Vanya membukanya. Video? Gumamnya dalam hati. Ponsel Revan tidak ada polanya. Jadi ketika Ia menekan tombol power, video itu muncul saja di layar.

Vanya memencet tombol play. Matanya membuka lebar. Perdebatannya dengan Diva tadi pagi terekam jelas. Dan parahnya lagi— video ini telah sampai ke Revan.

Dan yang paling parah, parah, parahnya lagi, Revan tau Ia berbohong. Dan jelas, seantero sekolah juga tau, kalau ketua osis mereka paling tidak suka dengan kebohongan.

Vanya menoleh dengan hati hati. Amann, monolognya dalam hati melihat Revan yang ternyata masih amat fokus karena ada emak emak yang salah jalur dan hampir saja menyerempet.

Udah salah jalur, laju nya di tengah pulak. Palingan sebentar lagi reeting kanan belok kiri. Dasar emak emak milenial.

Lagi pula, kemana juga polisi yang berjaga? Ah, palingan sedang nongki santuy di warteg. Bukannya meremehkan, tapi Vanya sendiri memang sering melihatnya.

"Sangat jujur. Iya kan?" Desis Revan sedikit melirik. Dan– tersenyum. Tapi percayalah! Senyum itu terlihat sangat berbahaya di mata Vanya sekarang.

Vanya menundukkan kepalanya. Tidak berani mendongak. Apalagi menatap. Oh ayolah! Dimana sikap bodo amatnya sekarang?! Ntah lah, keberanian Vanya sangat ciut jika sudah begini.

Mobil berhenti tepat di garasi kediaman Mahesha. Revan masih diam tak bergeming. Vanya sendiri masih menunduk sedari tadi.

"Lo kira hebat kayak tadi?" Tanya Revan yang mungkin terlihat damai. Tapi ini sangat menyeramkan!

REVANYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang