25. cemburu

38.3K 2.6K 53
                                    

Pagi ini kedua sejoli yang sedang senang senangnya, mereka berdua berniat untuk pergi berbelanja. Setelah kemarin lusa sang istri melarang. Dan sepertinya, kali ini mereka memang harus memenuhi kebutuhan kulkas.

"REVAN.. LAMA BANGET SIH! DIMANA MANA YANG LAMA ITU CEWEK NYA, BUKAN COWOK NYA," teriak Vanya dari lantai bawah. Pasalnya, sudah setengah jam lebih ia menunggu Revan yang tengah bersiap. Tapi, tak kunjung datang juga.

"SABAR!" Itu suara Revan yang berasal dari kamar. Memang, kamar mereka tidak kedap suara.

"Ck! Udah manggilnya gak sopan, teriak tetiak lagi."

Vanya menoleh ke belakang. Dimana Revan yang berjalan menuruni tangga. Lalu ia mengangkat satu alisnya, mempertanyakan balik maksud dari pertanyaan Revan.

"Sopan gak sih, istri manggil suaminya nama gitu aja."

Oh, Vanya paham sekarang.

"Terus, mas Revan, gitu? Hii.. kek tua tauk! Gak pantes. Ntar aja manggil daddy kalo udah punya anak," jawab Vanya hanya mengeluarkan apa yang ada diotaknya.

"Yaudah, sekarang aja manggil daddy nya," sahut Revan bercanda.

Vanya bergidik ngeri. "Jatuhnya malah kaya aku sugar baby mu, Van.."

"Ya apa kek, terserahmu lah. Lagian, ini, kakiku masih sakit! Kudu ganti perban dulu. Kamu bukannya bantuin malah teriak!" Balas Revan terlanjur malas.

Sepertinya, Vanya ini tipikal gadis yang sangat tidak peka. Padahal kan, masih banyak panggilan lain untuk pasangan. Seperti, sayang atau baby contohnya. Ah sudahlah. Bukan Vanya yang tidak peka, tapi Revan yang terlalu bucin.

"Hihi.. maap." Sumpah, kalau yang ini, Vanya baru sadar. Memang, beberapa luka Revan masih harus diperban. Dan mengharuskan untuk menggantinya selepas mandi.

By the way, kalau kalian bertanya, dimana Gavriel? Anak itu sudah pergi pagi pagi sekali dijemput sang bunda. Mungkin sekitar satu atau dua jam yang lalu.

"Yaudah, yuk."

"Hayuu."

🦋🦋🦋

Hampir satu jam Revan dan Vanya berputar putar dipusat perbelanjaan. Bahkan troli yang Vanya dorong, sudah penuh dengan sayur mayur, daging, bumbu bumbu, juga beberapa snack untuk persediaan satu bulan kedepan.

Sedangkan Revan yang tidak menahu tentang dapur, pemuda itu hanya menguntit dibelakang Vanya, sesekali membuka ponselnya untuk menghilangkan rasa gabut yang berlebih. Apalagi kakinya masih sedikit sakit untuk digerakan.

"Bilikin gak!" Vanya menoleh ke belakang. Melihat ke arah Revan yang tengah menatapnya. Lalu, alisnya terangkat satu.

"Kenapa sih?" Tanyanya kesal. Vanya tau, Revan melarang dirinya untuk tidak memasukkan mie instan yang sudah berada ditangannya. Padahal kan, Vanya cuma ambil dua.

Revan berusaha merebut mie instan tersebut dari tangan Vanya. Namun gadis itu malah membelakangkan tangannya. Membuat Revan kesusahan mengambilnya.

"Cuman dua, Revan!" Kesal Vanya. Bibirnya sudah mengerucut. Entah mengapa, akhir akhir ini ia suka begini kalau marah. Jujur, Vanya geli sendiri.

"Enggak ya enggak." Tangannya berhasil mengambilnya dari tangan Vanya. Dikembalikannya mie instan tadi.

Dan karena mulut mereka yang tidak terkondisikan, membuat orang orang disekelilingnya memandang ke arah mereka. Ralat ralat, sepertinya hanya Revan saja. Apalagi ibu dan anak gadisnya yang berdiri tidak jauh mereka. Pembicaraannya membuat Vanya semakin kesal.

REVANYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang