Setelah kejadian semalam. Dimana Vanya yang pingsan setelah mendengar cerita lengkap dari Revan. Kini kedua sejoli itu sudah berada di bandara Soekarno Hatta.
Seharusnya tadi pagi mereka berangkat. Tapi karena neneknya yang tidak membolehkan karena kondisi Vanya yang belum membaik, jadilah sore ini mereka baru mau berangkat menuju Singapore.
"Revan, jaga istrimu baik baik," pesan nenek singkat. Revan membawa neneknya kepelukannya. "Pasti, nek," kata Revan dengan tegas.
Nenek beralih pada Vanya. Sama, beliau memeluk satu cucu nya lagi. "Nenek tau kamu masih marah sama Revan. Tapi kalau nenek boleh pesan, pending dulu ya marahnya. Setidaknya sampai mama mu sembuh."
Vanya memaksakan senyumnya. Ia melihat ke khawatiran yang cukup besar di mata nenek Dewi— nenek dari Revan.
"Iya, nek," jawabnya menurut. Karena sejujurnya, sampai sekarang pun Vanya masih marah dengan Revan.
Ah, lebih tepatnya semua yang menyembunyikan tentang keadaan sang mama.
"Kalian baik baik. Semoga selamat sampai Singapore," pesan kakek Atma— suami dari nenek Dewi.
"Kak Anya.. kak Anya kenapa pelgi?" Vanya menyetarakan badannya dengan Gavriel. Anak itu nampak murung, tidak seperti biasanya.
Tanpa kata Vanya memeluk Gavriel erat. Menyalurkan kasih sayang seorang kakak kepada adiknya. "Kakak gak pergi, sayang," ucap nya lembut.
"Nanti, kalau kak Anya pulang, kak Anya bawakan Iel mainan yang banyak, deh," bujuk Vanya. Gavriel melepas pelukan mereka. Air muka nya sudah berganti.
"Benelan?" Tanya Gavriel dan Vanya mengangguk. Lalu anak itu bersorak senang. Apapun untuk mainan. Begitu motto hidup seorang Gavriel.
"Gak pamitan sama abangmu, Iel?" Nenek Dewi bertanya pada Gavriel. Ia langsung menoleh ke arah Revan. Diam sejenak dan ...
"Bang Evan juga beliin Iel mainan?"
Hah! Mainan lagi, mainan lagi. Revan mengangkat tubuh mungil Gavriel. "Kalo enggak?"
Gavriel tampak berpikir dalam gendongan Revan. Setelahnya ia menggeleng. "Tulunin Iel kalo gitu. Kalo udah mau beliin Iel mainan, balu nanti gendong lagi."
"Hm. Nanti abang beliin." Dan, anak laki laki itu kembali bersorak senang.
Selesai sudah mereka berpamitan. Terakhir, Vanya melambaikan tangannya. Setelah itu mereka cepat cepat bersiap untuk persiapan penerbangan.
🦋🦋🦋
Sekitar dua jam lalu mereka sampai di Singapore. Tidak ada waktu untuk bersenang senang. Begitu sampai, mereka harus langsung menuju rumah sakit dimana mama Dera dirawat. Padahal, waktu sudah menunjukan pukul 9 malam.
Tadi, kata Gerald, kondisi mama Dera semakin memburuk. Bahkan besok mama Dera susah harus melaksanakan operasi. Dan benar saja, Vanya membuktikannya setelah sampai kesini.
"Vanya ..." Vanya terkejut begitu melihat sang mama terbangun. Ia yang tadi ikut tertidur di samping ranjang mamanya, terbangun ketika mama nya memanggil.
Air mata nya meluruh seketika ketika ia memeluk mama nya. Dera mengusap punggung Vanya pelan. Tetap tersenyum meski bibir nya pucat pasi.
"Mamah butuh apa?" Vanya mengusap air matanya. Dera menggeleng pelan. Yang dilakukannya hanya mengusap punggung tangan Vanya.
"Mana suamimu?" Tanya Dera dengan sangat pelan. Bahkan suaranya hampir tak terdengar olehnya.
Vanya memaksakan senyumnya. "Ke kantin sama abang sama papa," jawabnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
REVANYA
Teen FictionCerita klasik soal Revan, Vanya, dan perjodohan. Start: 27/12/20 End: 28/06/21