"APA?! "
Oke, Eren sudah menyangka akan seperti itu reaksinya. Tapi, walaupun kata itu diucapkan dengan nada tinggi dan menyentak, suara yang keluar dari mulut Armin Arlert hanya seperti panggilan lembut Bunda Carla ketika hendak membangunkan Eren.
"Sebentar sebentar sebentar... Coba kita jabarin dulu apa yang barusan lo jelasin itu. " Armin memijat pangkal hidungnya seraya memejamkan mata. Ia bernapas jengah. "Pertama, lo nggak suka sama Kak Rivaille karena 'lo merasa' kepopuleran yang udah lo raih susah payah selama ini direbut dia? Kedua, setelah lo kalah dari taruhan yang lo buat sendiri sama dia, lo keukeuh pengin jadi babunya Kak Rivaille cuma gara-gara nggak mau harga diri lo terasa jatuh?! Ketiga, pas jam istirahat pertama tadi lo nganterin bekal buat Kak Rivaille, lo malah malu-maluin diri lo sendiri gara-gara salah paham sama bahasa dia?! Dan yang keempat, —ini yang paling parah, sih!— lo lampiaskan kekesalan lo ke Mikasa sampai bentak dia sampai nangis dan sampai sekarang tangisannya nggak berhenti-berhenti?! "
Eren memasang raut rumit di wajahnya. Ekspresinya campur aduk disana —sudah macam es campur spesial. Ada kesal, jengkel, frustasi, merasa bersalah, dan... bingung? Dan untuk yang kesekian kalinya Eren mengacak-acak rambutnya yang sudah acak-acakan itu.
"Itu sebabnya gue minta tolong sama lo, Armin! Cuma lo yang bisa bantuin gue! "
Armin merasa gerah melihat tingkah sobat kecilnya itu. Hodie yang biasanya tak pernah Armin lepas selama di sekolah itu kini ia tanggalkan. Bagian depan seragamnya saja ia kibas-kibaskan untuk memberi hawa sejuk di dalam tubuhnya. Wajahnya memasang raut tak percaya dengan kepalanya yang ia geleng-gelengkan pelan.
"Udah gue duga, " gumam Armin. "Nggak ada yang bisa bikin nangis Mikasa selain Eren. Harusnya gue tahu sejak awal. "
Eren yang mendengarnya hanya bisa terdiam.
Posisi mereka saat ini tengah berada di rooftop sekolah. Tepat jam istirahat kedua berbunyi tadi Eren meminta Armin untuk mengikutinya karena ada sesuatu yang hendak dia bicarakan. Penting, katanya. Dia bahkan tidak mengindahkan ucapan Armin yang mengatakan untuk menghibur teman perempuan mereka yang masih terus menangis sejak jam masuk tadi. Beruntung di saat itu sang guru pengajar tidak bisa hadir karena ada urusan mendadak, jadinya anak-anak di kelas Eren hanya ditugaskan untuk meringkas lanjutan bab kemarin hingga jam istirahat berbunyi lagi. Mikasa masih terus menangis sembari menulis catatan.
"Armin... " Eren memanggil karena laki-laki itu malah membelakanginya dan terdiam cukup lama sekali.
"Ah, maaf, Eren. Gue kelamaan mikir. " Armin kembali berbalik lalu melangkah mendekati Eren. "Gue cuma nggak habis pikir sama pemikiran lo. "
"Nggak habis... gimana? " tanya Eren bingung. Kalimat Armin selalu terdengar memusingkan di telinganya.
"Nggak habis pikir. Dari lo kecil sampai segede sekarang ini lo selalu aja ngambil jalan-jalan yang penuh dengan risiko. Lo selalu mengambil keputusan dalam satu kedipan mata tanpa tahu dampak dan akibatnya. Nggak pernah dipikirin masak-masak. Dan... Ah! Gue jadi ikutan setuju sama salah satu julukan yang Jean buat ke lo; suicidal bastard. "
"Armin! "
Yang dipanggil malah tergelak. "Lha, emang kenyataannya, kok. Lo nggak inget pas kejadian kita hampir nggak jadi upacara gara-gara tali katrol benderanya macet? "
Eren hanya terdiam mendengar pertanyaan itu.
"Kira-kira, siapa pahlawan berani mati yang rela manjat tiang bendera setinggi lima belas meter itu buat benerin tali yang berbelit di puncak tiang? "
Eren masih bungkam.
Tentu saja jawabannya adalah dirinya sendiri; Eren Jaeger, penyelamat upacara bendera hari senin kala itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
My (Handsome) Girlfriend [EreRi Fanfiction]
Fiksi Penggemar[WARNING! : Cerita ini 'mungkin' bisa membuat kalian tertawa, menangis, marah, kesal, dan jengkel secara bersamaan] * Karena rasa iri, sebuah rahasia tak sengaja terbongkar.... ============= Tidak seperti yang lainnya, Eren membenci Rivaille sejak p...