Matahari pagi membuat kesilauan diluar ruangan, awan putih terlihat jelas. Hari-hari biasa yang penuh kesibukan akan orang kerja dan sekolah, jalanan di Ibu Kota menjadi padat. Pukul tujuh lewat dua belas menit, bel masuk di SMA Barkatama belum juga berbunyi. Mungkin, ada sedikit kendala.
Keramaian kelas adalah salah satu hal yang paling menyenangkan, ketua kelas belum datang. Arsalan duduk di bangkunya, menyender pada senderan kursi, wajah mendongak ke arah langit kelas. Dan ditutupi buku cetak pelajaran Bahasa Inggris. Kedua telinganya tersumbat earphone, tangan kanan berada di atas meja sembari memegang ponsel.
"Arsalan!" panggil sosok lelaki duduk di belakangnya seraya mencoel pundak Arsalan, Leo teman satu meja dengan Pia.
Arsalan menoleh ke belakang, melepaskan earphone dan menaikkan sebelah alisnya. "Boleh pinjem pulpen nggak? Yang gue tintanya habis," pinta Leo menyengir.
"Bentar," balas Arsalan. Cowok itu mengambil kotak pensil di dalam laci, mengeluarkan satu pulpen yang akan ia pinjamkan.
"Jangan lupa dikembalikan," peringat Arsalan.
"Iya-iya."
Setelahnya, Arsalan menatap datar tiga siswi di depan. Suara nyaring khas dari tiga siswi berdiri di depan papan tulis, menyanyikan lagu dengan nada panjang yang membuat kerusuhan di dalam kelas. Jeje, gadis menggunakan bando pita itu bernyanyi sambil memegang gagang sapu.
Ada Pia, cewek berponi dora memegang spidol papan tulis dan dijadikannya mikrofon. Juga ada Bunga, si cantik berkuncir kuda. Mengayunkan kedua tangan silih berganti, menghayati sebuah lagu yang sedang mereka nyanyikan.
"Diem woi! Diem!"
"Bunga setan lo! Suruh temen sepanggung lo itu diem!"
"Berisik woi!"
"Aduh, kalian semua tuh, ya. Nikmatin aja kita bertiga nyanyi, calon pendangdut nih!" seru Jeje membalas suara-suara teman sekelasnya.
"Montok mundur woi! Dangdutan yang bohay dikitlah tuh body," timpal lelaki yang diduga teman satu meja dengan Jeje.
"Sialan! Lo semua bisa diem nggak?!" geram Arsalan membuat teman sekelasnya menculat kaget.
Bunga merengut, dia berjalan kesal menuju kursinya. Lalu Jeje dan Pia saling pandang, mereka tak akan diam sebelum guru datang. Arsalan sudah muak satu kelas dengan manusia kekurangan otak, ia membereskan buku-buku yang ada di atas meja agar rapi. Menyimpan ponsel ke dalam saku celana, dan simpan earphone di saku baju putihnya.
"Hei, kamu! Iya, kamu! Yang lagi duduk di sebelah kursi Stella!" sentak Jeje menunjuk Arsalan, sedangkan cowok itu tetap menatap datar Jeje dengan malas.
"Lo mau ngapain?!" sahut Pia berbisik sembari mencubit paha Jeje.
"Aduh!" ringis Jeje, menyingkir sedikit jauh dari Pia.
Jeje memandang Arsalan tajam, tak lagi menunjuk Arsalan menggunakan jari telunjuknya. Melainkan gagang sapu, siap sedia Pia dan Bunga membuang Jeje sekarang juga. Malu karena tingkah teman dekat? Ah, biasalah. Tangan kiri Jeje memegang pinggang, ia menatap murka ke arah Arsalan.
"Eh, ayang beb! Lo kenapa nggak bales pesan dari gue? Nggak angkat telepon dari gue? Ada masalah apa lo sama gue? Dan semalam malah lo blokir nomor gue?! Seharusnya lo bersyukur gue kirim pesan sama telepon, kebanyakan cowok di luar sana pengen di posisi lo yang lagi gue deketin. Gila lo, sok cuek banget. Lo pikir dengan cara cuek kayak gitu, ada cewek yang bakal mau sama lo? Gue sumpahin nggak ada, karena lo udah sia-siain gue yang jelas-jelas berlian permata."
Arsalan tertohok mendengar celetohan Jeje, Bunga menepak keningnya, dan Pia balik kanan menghadap papan tulis kelas. Siswa-siswi di kelas sepuluh ips dua ini saling bersorak, rata-rata lelaki tertawa terpingkal-pingkal sembari memukul meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
He's Arrogant
Random(Belum selesai) Stella Edison, wajah jutek bersikap angkuh. Dia tidak memandang lawan bicara yang menurutnya tidak penting, tak memandang lokasi untuk berdebat. Dan dia adalah gadis milyaran misteri, susah ditebak, baik pikiran maupun tindakan. Dan...