21. Kehidupan Berbalik

84 11 0
                                    

Keberadaan seseorang harus diketahui, begitu pula dengan latar belakangnya. Entah buruk ataupun baik. Sekarang, suara hina menggema di area kantin, tawa menggelegar ditiap pojoknya. Botol-botol plastik seakan melayang menampar diri, siraman air dingin pun dapat membuat tubuh menggigil. Kata berhenti terus dilontarkan, namun makhluk hidup seolah tuli.

Tidak ada yang peduli. Nyalinya tak sekuat itu untuk melawan juga berontak pada ribuan murid. Dimana para kesatria yang biasanya melindungi Tuan Puteri? Dimana pangeran berkuda yang akan menyelamatkan Puteri Raja? Dimana sosok teman... tunggu, apakah dirinya ada seorang teman?

Sadar akan hal itu. Gadis berseragam putih-abu, terduduk lemas di lantai kantin. Tampak terlihat seperti korban perundungan, memang benar. Tangan kanannya memegang bando polka-dot yang biasanya ia kenakan, sedangkan tangan kiri meremas rok abu-abunya.

Dia berdiri dengan kepala tak bisa menunduk, mentalnya masih terlihat kuat, wajahnya bertampil seperti biasa, tak dapat orang menebak bagaimana perasaannya saat ini.

"Masih punya nyawa untuk melawan?" tanya gadis tinggi di hadapannya, si cantik Primadona di sekolah.

"Lo buta?" ketus Stella bertanya, dia terlihat angkuh walaupun penampilan sudah kacau tak terurus lagi.

"Siram."

Siska berkata pada buntutnya, Pia. Dia menatap Stella yang masih berdiri gagah tidak mau roboh hanya karena menjadi korban perundungan.

Guru dan pengawas berada di gedung rapat, sedangkan anak osis sedang rapat pula di ruangan mereka. Kini, siswa-siswi jam kosong selama dua jam. Tidak diperbolehkan pulang karena jadwal pulang masih lama, dan rapat akan segera selesai.

Pia mengangkat ember kecil yang biasanya digunakan untuk menampung air pel, sekarang terisi air dingin diduga adalah air hujan. Diangkatnya hingga berada di atas kepala Stella, gadis itu menumpahkannya begitu saja, bibirya menunjukkan senyum penuh kemenangan.

"Makanya, jangan berani lo ngejahilin gue kalo di kelas. Gini 'kan jadinya? Lucu banget, kayak anak ayam kecebur di kali," celetuk Pia.

Murid yang lain hanya bisa menonton seakan lumpuh tak bisa berbuat apa-apa, selain tertawa pula. Teman-teman sekelas Stella juga tengah duduk di kursi kantin, tidak peduli. Leo, cowok itu menatap kasihan Stella yang berdiri tak jauh dari dirinya.

Bunga dan Jeje tidak ikut serta, mereka duduk diam dan menonton bersama Leo. Rere? Gadis itu berdiri di samping Pia. Menertawakan Stella tiada henti.

"Mana suara bentakan lo? Tumben enggak keluar? Biasanya kalo dijahilin kayak gini, lo bentak-bentak kayak bos," ujar Siska.

"Bisu kali," sahut Rere mengompori.

"Bibirnya udah kejahit, mana bisa dia ngomong," timpal Pia sembari menunjuk beberapa siswi seangkatan dengannya.

"Ambil sampah-sampah itu, buang ke kotak sampah yang kecil dulu. Kalo penuh, angkat trus buang ke kotak sampah yang besar di dekat parkiran," tutur Pia diangguki oleh siswi tersebut.

"Yang punya masalah satu orang, yang ikut-ikutan...." Stella bersuara, jari gadis itu bergerak seolah menghitung manusia yang ada di sini.

"Lebih dari ratusan... atau ribuan? Pengap banget, mana gue di tengah juga," gerutu Stella. Dia tidak peduli dengan bisik-bisik mereka tentang dirinya.

Siska menganggukkan kepalanya, dia melihat Rere yang terus memandangi Stella. "Lo kalo punya dendam, tuntasin sekarang. Mumpung enggak ada guru dan yang lainnya, penjual kantin udah gue kasih duit biar pada diem," ungkap Siska membuat Rere menoleh padanya.

"Enggak dulu deh, lo duluan aja," jawab Rere menolak.

Siska tertawa pelan, dia mulai menggerakan kedua tangan Rere lalu memukul-mukul wajah Stella. Tampaknya korban masih diam memaklumi si pemula, akan tetapi perlahan pula Stella membalas membuat Rere tak tahan dirinya harus menahan sakit akibat pukulan mantap dari Stella.

He's ArrogantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang