14. School Field

59 8 0
                                    

Pukul sebelas, pelajaran olahraga di kelas sepuluh ips dua. Seluruh murid ini pergi meninggalkan kelas menuju loker, mengambil pakaian olahraga SMA Barkatama, lalu memakainya. Stella, dia termenung melihat-lihat pergerakan Rere yang semakin lama semakin aktif berinteraksi dengan yang lain. Sikapnya tidak berubah, dia mendekati Rere dan memberikan uang selembar lima puluh ribu ke gadis itu.

Pia, cewek berambut pendek, berponi dora, dan menggunakan jepitan pita di sisi kepala. Dia melihat adanya Stella yang menyodorkan uang ke Rere, Pia menepisnya dengan kasar. Menatap Stella tajam.

"Eh, lo apaan sih? Mau nyuruh dia ke kantin, beliin lo makanan dan lo bakal kasih upah, gitu?" tanya Pia lantang.

Stella tidak berekspresi apapun, dia tetap tenang, datar dan dingin. Memasukkan uang itu ke dalam saku celana olahraganya, Stella melirik Rere.

"Lo sekarang udah ada pembela," ujarnya, lalu membalas tatapan Pia.

Rere tak menjawab, cewek itu diam memperhatikan Pia yang berkata ketus kepada Stella. Sama seperti Bunga dan Jeje, keduanya tidak bereaksi. Sekarang, mereka berada di lorong gedung kelas ipa, ingin pergi ke lapangan sekolah karena guru pengajar dan murid lainnya sudah menunggu di sana.

"Kenapa? Lo enggak rela temen cupu lo ini gue suruh-suruh?" tanya Stella dingin kepada Pia, tatapan matanya menusuk membuat nyali Pia menciut.

Pia mengedarkan pandangannya, tangan yang berada di sisi tubuh melambai ke belakang, memberi kode untuk Bunga dan Jeje agar membantunya. Namun, kedua teman itu tidak ada pergerakan. Jeje terkekeh geli melihatnya, dia tak ingin ikut serta dalam urusan Stella untuk Rere.

"Aku udah enggak mau disuruh-suruh sama kamu," celetuk Rere membuat Stella menoleh padanya secara perlahan.

"Kamu ada tangan, kaki, mata, telinga dan lain-lain secara utuh. Enggak ada yang cacat, seharusnya digunain. Percuma 'kan ada semuanya tapi enggak dipake, sama aja kayak cacat," lanjut Rere, pelan namun menghantam hati Stella.

Bunga yang sedang asik merapikan dasi milik Jeje di kerah seragam temannya itu, dia terperanjat kaget mendengar celetohan Rere. Sedangkan Jeje, cewek itu membulatkan mata lalu menepis tangan Bunga dari hadapannya. Dia bergerak berdiri di sebelah Rere, melongok dari samping melihat wajah Rere yang tampak biasa saja.

Pia dan Stella, kedua remaja ini sama halnya terkejut. Pia menyadarkan dirinya, jari-jari tangannya tidak bisa diam karena takut. Tatapan Stella begitu tajam, terlihat juga Rere meremas celana olahraga di kedua sisi pahanya. Sebenarnya, Rere pun tak berani. Namun, apa boleh buat, dirinya harus melawan agar tidak direndahkan oleh Stella.

"Lo tuh cewek dongo, lo miskin dan gue mau bantuin lo dengan cara lo kerja sebagai babu gue di sekolah! Upah lo juga gede, sadar dong, rumah kayu lo itu harus diganti jadi bata!" hardik cewek agresif itu, rambut kecokelatan sebahu membuat aura dirinya semakin mengerikan.

"Lo cewek yang enggak bisa berucap terimakasih. Tanpa gue, lo bakal tetap jadi cewek cupu." Stella melanjutkan perkataannya, dia menunjuk wajah Rere menggunakan jari telunjuknya.

Seketika, tepisan dari lengan putih membuat Stella menoleh. "Dan tanpa lo hina-hina, dia enggak akan bisa jadi seberani sekarang. Hinaan lo adalah perubahan jati dirinya," ujar cewek tinggi bertahi lalat di dagu. Rambutnya bergelombang di bagian bawah, bibirnya pink alami.

Siska, dia menarik tangan Rere dan memposisikan Rere di belakang tubuhnya. Senior, alias Primadona ini menatap Stella geram.

"Lo?" Stella berdecak, dia membalas tatapan Siska dengan angkuh.

"Tau apa lo tentang dia?" tanya Stella.

Siska terkekeh pelan, dia menunjuk dadanya sendiri menggunakan jari telunjuk. "Gue? Hm, gue tau apa ya, tentang lo?" Siska bertanya sembari menoleh ke belakang, tepat berdirinya Rere seorang.

He's ArrogantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang