10. Terpikirkan

72 8 0
                                    

Erik membuka kaca helm miliknya, dia masih duduk di atas motor sport bewarna hitam. Menggunakan seragam sekolah yang terlapis jaket cokelat membuat aura tampannya semakin mempesona. Bingung, kenapa Stella memberhentikan mobil ayla miliknya di depan pagar rumah sederhana? Sambil menunggu, dan Stella pun menurunkan kaca mobil membuat dahi Erik mengerut.

"Lo enggak peka banget sih, Kak. Lo liat tuh pagar ketutup, ya bukainlah," tandas Stella blakblakan.

Dari balik helm tersebut, Erik menyengir dan memasangkan standar motor lalu turun, segera ia membuka pagar rumah sederhana ini. Rumah Stella yang ada banyak bermacam tanaman, halaman rumah bersih juga rapi.

"Rumah lo, ya?" tanya Erik berbalik badan sembari berjalan mendekati motornya.

"Ya iyalah, kalo bukan buat apa gue ke sini?" Stella menyahut, memperhatikan Erik yang menaiki motornya lagi dengan helm masih ia gunakan sedari tadi.

"Dapet uang darimana lo?" tanya Erik, Stella tersenyum licik. Ia tau bahwa Erik akan bertanya seperti ini.

"Orangtua gue, kenapa?" ketus Stella.

"Ternyata lo beban," celetuk Erik.

"Beban lo bilang? Woi! Selagi punya emak sama bapak yang sehat walafiat dan kaya raya, harus banget pake uang mereka. Lagian gue masih pelajar yang membutuhkan banyak duit," jawab Stella.

"Lo enggak butuh kasih sayang dari orangtua lo? Lo cuma butuh duit? Gue baru tau Stella Edison kayak gini, kuat," papar Erik melajukan motornya memasuki pekarangan rumah Stella.

Stella berdecak sebal, dia segera menyusul dan keluar dari mobil. Tidak lama, seorang perempuan paruh baya datang menyambut pulangnya Stella, bersama Erik yang katanya mau main ke sini. Stella menunduk sekilas sebagai tanda hormat ke bibi, pekerja rumah Stella yang diberikan oleh Papa-nya. Erik juga melakukan hal yang sama.

"Ibu-nya Stella, ya? Salam kenal, saya Erik temen sekolahnya Stella," ujar Erik sopan membuat Stella membelalakkan matanya.

"Eh... iya, salam kenal saya Bi Ina. Tapi, maaf, Nak Erik. Saya cuma pekerja di rumah ini buat nemenin dan bantu Nak Stella," jawab Bi Ina.

Erik beralih menatap Stella yang juga sedang menatapnya, cowok ini menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal. Dia sesekali menunduk sebagai permintaan maaf kepada Bi Ina juga Stella silih berganti. Sekarang, Stella menyandarkan tubuh pada tiang tembok di dekat pintu masuk. Melipat kedua tangan depan dada, sembari menatap Erik datar.

"Bibi udah masak 'kan? Bi Ina masuk duluan aja terus siapin makanan untuk Stella sama Bi Ina juga," kata Stella kepada Bi Ina. Perempuan itu mengangguk dan berbalik badan memasuki rumah.

"Maaf soal tadi, gue enggak tau. Ngomong-ngomong orangtua lo mana?" Erik kembali bertanya seraya celingak-celinguk memperhatikan halaman rumah Stella.

"Kalo lo mau main ke sini kapan aja pasti gue terima, tapi satu hal yang harus lo ingat. Lo enggak boleh nanya ini dan itu tentang gue, termasuk orangtua dan keluarga," sembur Stella.

Erik menoleh spontan dan bertanya, "Emangnya kenapa? Ada yang salah, gitu?"

"Karena gue enggak seberuntung lo."

***

Menikmati suasana sepi, dan menyendiri. Angin malam berembusan, rambut indah yang dimilikinya sesekali menutupi mata. Dia menyanggul rambutnya dan sanggulan itu ditusuk menggunakan pensil agar tidak lepas. Menangkup dagu menggunakan kedua tangan berada di tepian besi balkon kamar, Stella memandang kosong ke arah depan. Balkon di seberangnya tidak ada siapa-siapa, sepi.

Biasanya, malam minggu seperti ini ada Edgar yang duduk juga di balkon kamarnya sendiri. Edgar yang sering bermain gitar dan bernyanyi mengganggu pendengaran Stella, selalu berdebat ketika beradu tatap di balkon masing-masing. Tidak ada tetangga yang menurutnya gila, Stella merasa tenang dan bosan.

He's ArrogantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang