12. Anger

63 9 0
                                    

"Kenapa harus dia?"

"Kenapa Mama enggak bilang, atau kenalin laki baru Mama ini ke Stella jauh-jauh hari?"

Suara Stella terus terdengar di telinga Rina, anaknya ini menuntut untuk menjawab semua pertanyaan yang sudah Stella lontarkan kepada dirinya. Saat ini, Rina dan Stella ada di kamar milik Rina, perempuan itu masih mengenakan gaun mewah bewarna putih, kepalanya tidak ada hiasan bermacam lagi, makeup menambah kecantikannya sudah sedikit luntur.

Acara selesai, Rina dan Papanya Siska sudah dinyatakan sah. Yuda hanya bisa tersenyum, tidak ada beban apapun dalam hidupnya. Karena, sesungguhnya memang tak ada rasa benar-benar cinta kepada Rina. Stella mendengus sebal, sedari tadi Mamanya hanya diam.

"Ma," panggil Stella.

"Mama udah kenal Papanya Siska dari lama, dan ini udah keputusan Mama. Ini adalah yang terbaik menurut Mama, kamu sama Papa kamu lebih baik enggak usah banyak omong. Mama undang ke sini, karena Mama mau kenalin kamu ke saudara baru kamu," jelas Rina.

"Saudara?" tanya gadis ini, ia terkekeh pelan ketika mendengar kalimat itu.

Stella memalingkan wajah, dia menatap arah luar dari jendela yang ukurannya besar. Di luar sana, sudah ramai orang mundar-mandir untuk pulang.

"Mama enggak bilang dan enggak kenalin suami baru Mama, karena Mama mau bikin kejutan buat kamu. Mama kira kamu bakal senang kalo ada saudara perempuan, dan Mama salah. Ternyata kamu musuhnya Siska," ujar Rina membuat Stella menoleh ke arahnya.

"Kita musuhan juga karena tingkah Siska yang enggak bener! Anak baru Mama tuh tukang gosip di sekolah. Pelaku pembullyan di sekolah! Seharusnya Mama sama Papa bertahan demi Stella, enggak nyerah kayak orang dongo. Seharusnya Mama sama Papanya Stella bisa berubah jadi lebih baik lagi, enggak berantem terus! Kalo tau Stella hidup tanpa perhatian Mama, Stella enggak akan mau buat lahir ke dunia! Stella eng--"

Dengan spontan Rina menampar Stella, membuat gadis itu berhenti bicara dan terdiam. Stella memegang pipi kanannya, terasa perih namun tidak terlalu. Tidak seperih hatinya yang kini sakit. Rina sudah memulai lembaran baru, seharusnya Stella mengerti itu. Akan tetapi, dia hanyalah seorang anak yang cuma tau perdebatan orangtua, egois, hanya memikirkan dirinya sendiri.

Dada Rina naik turun karena emosi, perempuan ini menatap tajam putrinya. Mereka sama-sama diam membisu, tatapan mata sendu dari Stella membuat mata Rina berkaca-kaca. Tidak tahan pada situasi seperti ini, Rina membalikkan badan dan meninggalkan Stella di kamar Rina. Kamar yang tidak ada apa-apa, karena kamar pengantin ada di lantai tiga.

"Eh, lo apain nyokap gue?"

Stella menatap datar Siska yang baru saja masuk ke sini, mendekati dirinya dan dagu sedikit terangkat berlagak songong. Tidak berekspresi apapun, Siska maju lebih dekat ke depan Stella.

"Lo apain nyokap gue? Kenapa pas keluar dari kamar ini dia nangis? Lo tuh cuma anak buangan, seharusnya lo paham sama perasaan nyokap. Dia mau keluarga baru, karena keluarga lamanya kebanyakan gaya dan enggak peduliin dia. Kayak lo, contohnya," ucap Siska pelan tapi dapat menyadarkan pikiran Stella.

"Sialan lo!" murka Stella.

Bogeman mentah mendarat ke rahang Siska, jemari tangan Stella mengepal kuat. Sedangkan lawannya itu tumbang, tersungkur ke belakang sembari meringis kesakitan. Siska mendongak, ia tersenyum kuda melihat ekspresi Stella yang sedang marah. Tatapan mata penuh dendam ia lontarkan untuk Stella, begitu pula sebaliknya.

"Gue suka atas kehadiran nyokap kandung lo di keluarga gue, gue seneng akhirnya punya nyokap sebaik Mama Rina. Dan... gue benci lo. Lo ngatain gue sampah waktu itu, padahal lo sendiri yang sampah," lontar Siska.

He's ArrogantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang