Jam pelajaran kedua dimulai, Stella melirik-lirik cowok yang duduk di sampingnya. Sembari memegang buku seolah membaca padahal tidak, Stella melihat pahatan wajah Arsalan. Guru di depan sedang menjelaskan sebuah materi diabaikan oleh Stella, gadis cantik berbando ini terus mencuri pandang ke teman semejanya.
Arsalan menoleh, mendapati Stella yang tengah memandanginya. Raut wajah datar dan tatapan dingin terpancar jelas dari cowok itu. Arsalan berdeham, membuat Stella cukup kaget dan beralih mengarah ke guru yang berdiri di depan papan tulis putih.
"Ngapain sih, lo ngeliatin gue mulu? Kalo suka tuh, bilang aja kali," ujar Stella pede.
"Bukannya lo yang ngeliatin gue terus?" Arsalan membalas, tak lagi cowok itu menatap Stella, melainkan fokus melihat dan mendengar materi yang disampaikan oleh guru.
"Dih, pede abis lo," ketus cewek di sebelahnya.
Diacuhkan saja oleh Arsalan, Stella mendengus sebal. Jari tangannya tak bisa diam, dia meraih kotak pensil punya Arsalan yang ada di tengah meja. Mengambil pensil dan penghapus, Stella memulai menggambar di lembar buku tulis paling belakang.
Arsalan melihat pergerakan Stella, dia tetap tenang. Ingin mengomel karena Stella meminjam barangnya tanpa izin, akan tetapi percuma juga, gadis itu seolah langsung tuli.
"Yaelah, pensil tumpul masih aja disimpen. Buang aja napa, jelek 'kan hasil gambaran gue," celetuk Stella.
"Jangan dipake kalo hasilnya jelek," tutur Arsalan, pandangannya lurus ke depan.
Stella menoleh dan mendongak sedikit ke atas, menatap Arsalan dari samping. "Gue gambar muka orang, mungkin aja 'kan muka tuh orang emang jelek. Jadi, wajar aja kalo gambaran gue jelek, btw lo jangan pelit-pelit sama gue. Walaupun pensilnya tumpul, ini masih bisa kepake. Lagian salah lo, kenapa enggak bawa runcingan? Biar pensilnya lancip," jelas Stella panjang.
"Oh, iya. Selama kita satu kelas dan satu meja, gue enggak pernah manggil nama lo. Sekarang, gue panggil lo Alan," sambung cewek itu. Meneruskan gambarannya, entah berbentuk ataupun tidak, Stella sama sekali tidak ada bakat menggambar.
Arsalan menoleh sekilas, dia bertanya, "Kenapa harus Alan?" dengan satu alisnya terangkat ke atas.
"Suka-suka gue-lah," jawab Stella.
Arsalan mengangguk saja meladeninya, dia melihat gambaran Stella. Yang katanya menggambar wajah seseorang, sejujurnya, gambaran itu memang jelek. Pikir Arsalan, mungkin memang benar aslinya wajah orang itu jelek.
"Gimana gambaran gue? Keren 'kan? Lo bisa tebak enggak ini muka siapa?" tanya Stella antusias, menunjukkan gambarannya pada Arsalan.
Arsalan menggelengkan kepala. Mana bisa dia menebak, gambaran Stella memang tidak benar. Salah satu mata di wajah gambarannya agak sedikit lonjong, sedangkan yang satunya bulat. Hidung hanya garis lurus dari atas ke bawah pendek, sedangkan bibir hanya lengkungan tak jelas. Tak ada lobang hidung, tak ada alis dan bulu mata.
Stella memukul lengan lelaki itu cukup keras, dia menunjukkan gambaran yang ada di buku tulisnya, lebih dekat hingga menempel pada wajah Arsalan. Sengaja, cewek itu sengaja melakukan hal tersebut agar Arsalan dapat menebak siapa yang dia gambar.
"Ini muka lo! Masa sih, lo enggak bisa ngenalin muka lo sendiri? Kurang apa coba, gambaran gue?" oceh Stella, mengambil kembali bukunya dan merobek kertas itu.
Dilemparnya remukan kertas ke wajah Arsalan, tampak cowok itu memasang raut wajah pasrah.
"Gambaran lo jelek," ketus lelaki itu.
"Muka lo yang jelek," jawab Stella berkacak pinggang.
"Udah tau jelek, kenapa masih digambar?" Stella terdiam sejenak atas penuturan Arsalan kali ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
He's Arrogant
Random(Belum selesai) Stella Edison, wajah jutek bersikap angkuh. Dia tidak memandang lawan bicara yang menurutnya tidak penting, tak memandang lokasi untuk berdebat. Dan dia adalah gadis milyaran misteri, susah ditebak, baik pikiran maupun tindakan. Dan...