Erik berlari mengejar Stella, melewati lorong-lorong kelas, cowok itu meraih tangan Stella membuat Stella menghentikan langkah. Dia menoleh ke arah Erik dengan datar, melirik tangannya yang bersentuhan sama tangan Erik. Stella menepis kasar, dia mendongak menatap kakak kelasnya ini.
"Ngapain sih, lo ngejer-ngejer gue? Udah sana, bel mau bunyi. Gue enggak mau jadi sorotan orang-orang karena deket terus sama lo. Dikira gue lagi nyolong ikan teri kali, ya sampe diliatin terus," omel Stella.
"Seharusnya gue yang nanya, lo kenapa lari gitu aja? Plastik sampah harus dibuang dan sapunya lo balikin ke ruang BK," balas Erik.
"Buat apa gue balikin tuh alat-alat ke BK? Bukannya ada osis, ya? Lo 'kan ketua osis, urus aja sendiri. Sama aja 'kan, sebutan babu sekolah. Udah sana," usirnya membuat Erik kesal.
"Lo yang pake, lo juga yang harus tanggung jawab."
Stella menyipitkan matanya, dia menatap lekat-lekat wajah tampan Erik. "Tanggung jawab? Apa tadi... pake? Lo hamil gitu, dan gue harus tanggung jawab? Oi, Kakak. Ambigu banget omongan lo," ketus cewek itu menggeplak kepala Erik.
Erik berdecak, dia mengibaskan rambutnya dengan kasar. "Sekarang lo mau kemana? Bel belum bunyi, mending lo balik ke kelas," ujar Erik. Nada suaranya sudah memelan dan kembali normal.
"Lo kenapa sih enggak masuk ke kelas? Gue mau ke kantin," jawab Stella. Membalikkan tubuh dan membelakangi Erik. Dia melangkah pergi tak berucap apa-apa lagi, sedangkan Erik menggelengkan kepala.
"Murid kelas gue lagi dibebasin dari laboratorium. Gurunya enggak dateng, jadi pada diem di kelas. Ini sih, derita jadi anak IPA. Guru enggak hadir, serasa hampa," jawabnya.
Erik berlari pelan menyusul Stella, dia menggeplak kepala Stella dari belakang. Lalu, menyengir khas miliknya. Tangan kanan Erik merangkul bahu Stella, sedangkan tangan kirinya tenggelam dalam saku celana. Sesekali mengusap pelan kepala Stella, membuat rasa kesal cewek itu semakin bertambah.
"Ck! Lo apa-apaan sih, sok akrab banget," cemooh Stella seraya merapikan rambutnya.
"Lo kayak anak kecil aja pake bando ginian." Erik melepaskan bando polka-dot milik Stella, dilihat-lihatnya bentukan bando tersebut, lalu memasangkan lagi ke kepala Stella dengan benar.
"Diem dulu," kata Erik. Langkah keduanya pun berhenti di tengah koridor sepi.
Kedua tangan Erik sibuk merapikan bando di kepala Stella, sedangkan cewek itu diam saja.
"Nah, sudah. Ayo jalan lagi," ajak Erik cengengesan.
"Lo kenapa baik banget sama gue? Pasti lo mau minta macem-macem 'kan? Enggak mungkin lo baik ke gue tanpa sebab," ucap Stella. Pandangannya lurus ke depan, begitu pula dengan Erik. Cowok itu tak menoleh, cukup mendengar dan menjawab.
"Mau tau sebabnya?" tanya Erik, Stella menoleh ke arahnya.
"Yaiyalah, yakali enggak."
"Sebab gue suka sama lo," ungkap Erik.
Beberapa kali Stella mengerjapkan mata, cewek itu diam di tempat atas ungkapan Erik barusan. Lihatlah, cowok itu masih terus berjalan seakan tak ada beban. Seakan perkataannya tadi hanyalah ceplosan yang tidak ia sadarkan.
Sekolah Menengah Pertama, Stella tidak benar-benar menyukai terlalu lebih ke lelaki. Dia pacaran awal masuk SMP, itupun ketika ada yang mengungkapkan perasaannya kepada Stella, cewek itu langsung menerima tanpa basa-basi. Entah itu buruk fisik maupun mental.
Namun, ketika masuk SMA. Semuanya berubah. Stella hanya suka menggantungkan perasaan seseorang. Pacar terakhir Stella malah memutuskan Stella begitu saja pas kelulusan masa putih biru. Lalu menjalin hubungan dengan gadis lain. Stella tak peduli, dia acuhkan saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
He's Arrogant
Random(Belum selesai) Stella Edison, wajah jutek bersikap angkuh. Dia tidak memandang lawan bicara yang menurutnya tidak penting, tak memandang lokasi untuk berdebat. Dan dia adalah gadis milyaran misteri, susah ditebak, baik pikiran maupun tindakan. Dan...