09.Titik berhentinya di lo

135 15 1
                                    

09.Titik berhentinya di lo

Dari pada kemungkinan jatuh dari pohon karna mengambil layang-layang Nesya jauh lebih takut dengan kemungkinan setelah membuka kenop pintu rumah.

"Baru balik?" Major bertanya berat. Tiga kancing kemeja atas dibiarkan terbuka, terlihat bagian dada lebarnya dipenuhi tato beragam corak.

Nafas panjang samar Nesya hembuskan. "Iya."

"Udah makan?" pertanyaan major membuat kegiatan membuka sepatu terhenti, Nesya mendelik kikuk ke arah major.

"Udah, gue dapet traktiran soto dari raga."

Major bersandar di rak sepatu manggut-manggut. "Jelas, dia laki-laki gantle, nggak mungkin ngajak adek gue jalan cuma ngasih teh botol."

"Gue nggak jalan, cuma..." Nesya mengedikan bahu dibarengi gelengan kepala. "Ngabisin sore bareng."

Kekehan kecut keluar dari mulut major, dua tangan terlipat depan dada. "Soto, lo yang minta?"

"Nggak! dia maksa," balas Nesya merasa canggung akan pertanyaan sok peduli major.

"Iya gue tau, hari ini dibeliin soto besok pulau," katanya enteng. Nesya mendengus mulai paham alasan apa si bajingan banyak tanya. "Muna banget jadi cewek, persis banget kaya nyokap pelacur lo. Bilang nggak mau tapi ujung-ujungnya ambil bagian paling gede."

"Major...." suara Nesya memelan tanda ia capek.

"Bilang sibuk sekolah taunya jalan nggak jelas, tolol kan orang kaya gitu?" sarkas major mendekat, aura sekitar menegang. "Atau belajar yang lo maksud itu ini? jalan bareng dulu, deket terus nanem benih?" decihan terdengar lagi kali ini ditambah tawa merendahkan. Tangan Nesya terkepal dengan mata berapi-api.

Ia memejamkan mata beberapa saat, karna dua hari kemarin tidak masuk banyak tugas yang malam ini harus ia handle.

Hembusan nafas panjang menandakan ia mengalah. "Maaf," ucap Nesya menyunggingkan senyum getir. "Maafin Mama gue, jor."

Apa yang lebih sakit harus meminta maaf atas kesalahan yang diperbuat orang lain, ia tanggung getahnya mentah-mentah.

Pembelaan sampai mulut berbusa sekalipun di mata major akan tetap salah. Karna major sudah terlanjur menyimpan kebencian mendalam.

*******

Beres mengeringkan rambut Nesya bergegas ke meja belajar, membaca kertas note yang tertempel di dinding, daftar tugas. "Oke, b.indo dulu deh."

Susunan ide karangan di kepala Nesya buyar oleh kedatangan Major. Lututnya mendadak lemas.

"Ngaku adek tapi masih sering ngunci pintu kamar," delapan kata keluar dari mulut major. Ia hanya memakai celana kolor hitam, lekukan dadanya terekspos sempurna, berjalan membuka jendela dan duduk disana mengangkat satu kaki, posisi berhadapan dengan Nesya.

"Salah? bukannya kakak adek juga harus punya privasi."

"Kita kakak Adek kalo di luar batas ranjang," balas Major membuat Nesya berkeringat dingin.

Air muka panik Nesya selalu jadi candu bagi si bedebah major, ia santai meronggoh saku celana, menyantelkan rokok ke mulut.

"Gue lagi belajar, jor. Tugas gue banyak. Lo juga kan kerja kantoran, cape kan? mending tidur atau nge-gym kaya biasa, gangguin gue nggak ada gunanya," jawab Nesya nada santai, pura-pura menulis. Padahal tubuhnya tegang, was-was takut major bertingkah gila seperti sebelumnya.

Kepulan asap rokok memenuhi jendela. "Lo cinta sama, Raga?"

"Nggak," dibalas cepat. Cinta pada pola pikir dan bahasanya mungkin iya.

Testudines:AmongragaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang