32.Seruput coklat hari rabu
Menggantung kan diri pada seseorang sama dengan mempertaruhkan kebahagian dalam hidup. Ini menjadi titik paling dasar kalau kita harus bisa sendiri, termasuk bahagia.
Menggunkan jaket tebal, syal, masker dan topi Nesya keluar rumah setelah tiga hari mengurung diri dari kejadian mengenaskan, dia menerima tawaran Aelius yang menelponnya.
"Buat apa, siapa yang butuh? gue gak kenapa-napa."
"Lo sakit, Nesya."
"Kenapa sih semua orang harus sok tau? gue baik-baik aja! gue sakit karena dikunci di kamar mandi, ini gak ada hubungan---"
"Yang terluka biasanya engga punya keberanian lebih buat terbuka. Ibu bilang gitu. Gue tau dari situ kenapa anak yang sering cutter tangan nyembunyiin bekas lukanya mati-matian. Kuat dari luar lemah kenyataanya. Lo salah satunya, sya. Mau, ya?"
Ini pertama kali Nesya berkunjung, Ibu Aelius ramah menyambut. Menatap Nesya semestinya remaja biasa yang mimpi dan harapannya masih terkumpul dalam satu raga.
Hari pertama proses mengenal satu sama lain. Ibu mendengarkan Nesya bercerita kegemerannya, hal-hal random tentang kehidupannya atau seputar tokoh dalam buku favoritnya. Ibu tidak sepenuhnya paham tapi beliau berhasil jadi pendengar yang baik, semangat menyimak dan memperpanjang bahasan.
Selasa, pukul setengah empat sore itu cokelat hangat berada di genggaman tangan. Ikut menyaksikan kobaran semangat gadis yang kemarin hidup matinya dipertaruhkan.
"Oh, ya, terus akhirnya si figuran itu bagaimana?"
"Itu! dia malah lebih pilih mengikhlaskan."
Sereput cokelat hangat selanjutnya di hari Rabu. Dimana cuaca hari itu terang tidak kelabu. Nesya diajak melakukan yoga dasar di taman belakang, berdua dengan Ibu. Diajari teknik nafas 478 agar rileks dan bahu terasa ringan.
"Perlahan, empat hitungan menahan nafas. Tujuh hitungan tahan nafas dan kedelapan?"
"Buang nafas....." ucap Nesya sambil membuang nafas, senyum diakhir tercetak sejuk.
Keringat mengucur, Nesya mengikat rambut pendeknya. Mengikuti gerakan Ibu, hanya ada mereka berdua disana. Karna Ibu mengkhususkan diri untuk Nesya.
Taman ini cukup luas, sisi-sisi yang dilapisi keramik hitam terdapat beragam tanaman yang mengintari sekeliling, di bawah sana menggunakan tangga kecil untuk turun terdapat kolam berenang. Pohon subur, semeliwir angin dan Ibu yang amat menyenangkan menjadi perpaduan paling menenangkan pikiran Nesya dari kacaunya khasus ia di sekolah.
Seruput ketiga, cokelat hangat dingin oleh tetes air matanya. Ke inti masalah yang dimana gadis rambut setengkuk tersebut bergetar kecil saat bercerita.
"Sama Raga sebelumnya ada problem? atau sama yang lain sampai bikin kamu meledak hari itu?" Ibu memberi pertanyaan lembut.
Bola mata Nesya menerawang. "Kepsek? saya udah tumpahin tangisan itu di bawah hujan."
"Sedih yang ditahan di hari sebelumnya?" mengira-ngira, kembali dibalas gelengan kepala. "Berarti terakhir."
"Apa, Bu?"
"Masih ada yang belum beres urusan kamu dengan masa kecil mu, Nesya. Sebelum Ibu mengambil jurusan psikologi, lebih dalam dosen Ibu mengatakan, 'sembuhkan dulu mental diri sendiri sebelum kamu menyembuhkan mental orang lain' Ibu menjawab hari itu, jika Ibu baik-baik saja. Mental Ibu ada dalam kendali Ibu. Ternyata Ibu salah, diri kita bukan cuma ada di masa ini, tapi pernah ada di masa lalu yang disebut 'masa kecil' atau 'inerchild', dimana hubungan parenting 'masa anak-anak' dulu kita mungkin saja toxic dan harus disembuhkan," papar Ibu menjelaskan pelan-pelan, Nesya menyeruput kopi berharap sel otaknya pesat berjalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Testudines:Amongraga
Teen Fiction[Series stories F.3 familly] ⚠️Bisa dibaca terpisah⚠️ Ketika rumah bukan lagi tempat berpulang. "Anak perempuan yang selama hidupnya cuma dipertemuiin sama laki-laki bajingan bakalan ngerasa aneh saat yang tulus datang. Kepercayaannya rusak. Mental...