03.Pola pikir Mr.Amongraga

334 20 10
                                    

03.Pola pikir Mr.Amongraga

Teman sebangku Nesya sakit, musim penghujan seperti sekarang memang banyak yang tidak sekolah. Kendala betulan sakit atau mengarang-ngarang terjebak hujan padahal tengah asik bergelung di bawah selimut, lumrah.

Gadis rambut sebahu itu mengeratkan jaket denim yang ia kenakan kemudian bangkit, jam istirahat sudah berdering dari sepuluh menit yang lalu. Nesya baru bisa mencari makan setelah kena hukum Bu Wati karena tidak bisa mengerjakan persamaan linear.

"Mang satu ya," katanya memesan mie ayam kemudian duduk di salah satu bangku kosong kantin.

Otaknya kembali memikirkan masalah di rumah, keberkian kali menghela jengah. Melamun sendiri.

Pesanan datang, ia menyantap sampai tandas. Menegak air aqua, rasa janggal baru disadari. Cepat-cepat bangkit dari duduk untuk membayar.

"Mang daun bawanya abis ya?" tanya Nesya, dirinya manusia yang tidak percaya dengan 'kebetulan'.

"Eh nggak neng, ada banyak. Kenapa ey?" si Mamang bertanya balik seraya menerima uang dari Nesya. Logat Sunda bawaannya terdengar fasih.

"Tadi.... pesenan saya kok nggak pake daun bawang, mang?"

Mamang tukang mie terkekeh pelan. "Kan katanya kamu teh alergi sama bawang-bawangan, neng Nesya?"

Kerutan kening Nesya pertanda bingung. "Ha? Mamang tau dari mana?"

Menggunkan lap yang tersampir di pundak Mamang mengusap peluh di lehernya lalu mengambil secarik kertas di laci, diberikan pada Nesya.

Tertulis:
Yang namanya 'Nesya Prinzessin' alergi daun bawang mang. Saya ingetin ulang, 'ALERGI DAUN BAWANG', kalau beli mie ayam disini jangan dipakein daun bawang ya, mang. Banyakin aja dagingnya biar cepet gede jadi bupati.

"Ini... siapa yang nulis, mang?"

Sama sekali tidak berbohong, tulisan di kertas ini sangat rapi nyaris seperti huruf dalam papan ketik komputer.

"Den Raga." Jawab Mamang menampilkan senyum hangat. "Ceunah kata dia kamu suka lupa, banyak ngelamun. Jadi weh dia yang ngingetin ke amang, ayuh tadi juga kamu lupa ya, neng?"

Jawaban Mamang membuat Nesya tercengang di tempat. "Mamang tau nama saya dari dia juga?"

"Dari name tag kamu. Neng, jangan suka ngelamun atuh cerita ka den Raga mun ada masalah, dia mah anak urakan ge da hatinya mah baik pisan," tutur Mamang jujur, Raga pernah meminjamkan Mamang uang modal usaha mie ayam yang hampir bangkrut ini.

Mulut Nesya terkantup, mengedipkan mata berulang-ulang. Raga... manusia sejenis apa dia?

Tepat arah balik kelas mereka bertemu, berpapasan di luar pintu ruang BK. Terdapat luka lebam di wajah serta seragam urakannya terlihat amat kotor juga lecek.

Nesya terpekik sesaat kemudian menghembuskan nafas panjang. "Ngagetin lo."

"Lo yang banyak ngelamun jadi gampang kagetan," balas Raga santai. Nesya melirik sedikit ke pintu BK.

"Muka lo babak belur, kenapa?"

"Ngadu jurus," seperti biasa dia punya dua kepribadian ganda--ah tambah bakat telepati.

"Lo nggak lucu kalo bercanda tapi serem kalo serius," ujar Nesya kelewat jujur, meronggoh saku jaket. Jingkat untuk menempelkan plaster di kening kiri Raga. Di sakunya Nesya memang suka membawa plaster, jaga-jaga bila kemakan sifat ceroboh sendiri.

Sangking fokus memasang plaster Nesya tidak sadar jika Raga memperhatikan bola matanya sambil tersenyum simpul.

"First impression gue ke lo nyeremin, ga. Tapi makasih banyak ya," tatapan jutek Nesya kemarin sekarang berubah hangat.

Terima kasih dari Nesya tertuju pada perhatian-perhatian kecil Raga. Seandaikan tadi ia lupa dan langsung memakan sambil melamun akan serepot apa dia dan alerginya?

"Jadi kita udah saling kenal nih?" alis Raga terangkat sebelah. Nesya menyodorkan tangan ke depan.

"Nesya Prinzessin." Pengulangan seperti orang normal. Raga balas menjabat.

"Maharaja Amongraga." Setelahnya saling tertawa bersama.

Tawa mereka... tawa tanpa arah, tawa jiwa bebas---atau tawa pelengkap kebahagian yang pernah hilang? mungkin nomer tiga jawabannya.

Efek dari sekedar tawa Nesya membuat jantung Raga menggila, payah. "Terus apa panggilan lo? Nesya atau Mrs.Amongraga?"

Nesya kikuk sendiri, menepiskan bibir kesal. "Siapa juga yang mau nikah sama stalker?"

"Stalker atau mas-mas gojeg?"

"Dua-duanya," jawab Nesya muak, ia benci pada diri sendiri di dua hari lalu karna mudah percaya.

Raga tertawa mengejek. "Lo bisa ngulang setaun kalo berantem dan berakhir di BK, kelas tiga tuh bagian tobat," lanjut Nesya. Sebenarnya Nesya ngilu melihat luka di wajah Raga---atau itu perhatian tanda sayang? nomer terakhir Nesya tepis kasar.

"Gue berantem karna nyelametin negara," balas Raga enteng. Nesya jelas tidak percaya, dia bukan anak TK.

"Ngibul dih raga? Depan doi bagus bener tu alasan," cemooh Castor keluar dari ruang BK bersama Achung.

"Bisa banget emang si Raga nyepiknya, dahal mah kita tawuran sama kelas sebelah sya, perihal mereka nyopet sapu doang," imbuh si mata sipit, Achung.

Castor mengangguk setuju, menyenggol lengan Raga. "Biasalah chung, lo kaya kaga tau aja orang lagi PDKT."

Raga mengedikan bahu seraya memasukan dua tangan pada saku celana, gelagat khasnya sebelum berargumen. "Nyopet itu bibit-bibit ngambil apa yang bukan hak milik kita, ya sama aja kaya korupsi. Gue mana bisa diem aja liat anak kelas sebelah nanem diri jadi koruptor sejak SMA? harus dimusnahkan biar Negera kita aman," jelas Raga. Dalam bercandaan kali ini ada benarnya juga.

Castor dan Achung pura-pura tidak mendengar, Raga jika sedikit saja serius semua langsung tutup mulut. "Hal kecil emang, tapi lo tau? dari kecil itu perlahan bisa membesar, sampe serius dari yang lebih serius," sambung Raga terkekeh pelan melihat Nesya terdiam antara kaget dengan alasan yang ia berikan juga....

suka pada pola pikir Raga.

********

Nesyaaaa, dia rambutnya pendek.

Nesyaaaa, dia rambutnya pendek

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Testudines:AmongragaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang