25.Beberapa keadaan pelik itu
"Selain membahas mengenai tunggakan SPP mu, Ibu juga ingin bicara mengenai kejadian kacau akhir-akhir ini di sekolah. Bukan sepenuhnya salah mu, tapi kamu tau harus ada salah satu yang dewasa agar semuanya tertata, setidaknya sedikit membaik Nesya." Bu Elsa berkata tegas penuh keyakinan seperti sanggulnya yang kuat terpasang.
"Saya tidak berharap baik karna itu akan menjadi bagian yang ujungnya hanya saya yang mendapatkan getah. Ini fair Bu, saya sakit mereka juga, iya ini persaingan di luar sehat tapi seenggaknya saya engga jadi pengecut yang cuma diem saat dirundung kan?" tekad Nesya mencuat jelas pada kobaran semangat bola matanya.
Usianya genap 17 tahun dan dia hanya tengah berusaha mendapatkan hak yang umumnya pada masa remaja hak ini dirakit bersama bimbingan Mama papa.
"Tidak ada yang bisa dibenerkan dalam keegoisan mu itu, Nesya. Dengar Ibu, mereka hanya butuh pengakuan kalah mu."
Di bawah meja kepalan tangan Nesya mengeras. "Dan kalaupun sampai di titik terakhir persetikaian ini saya engga akan biarin itu terjadi, cucu dari nenek tua yang tunarugu ini harus menang."
Ibu Elsa mengatur nafas mendapati remang tembok berani air muka Nesya ada ketakutan dari anak minor sepertinya, 17 tahun belum bisa dikatakan dewasa, tapi----sejak kapan kedewasaan terpatok karna usia.
"Jika melawan dengan berpikir naif bisa dikatakan menang maka artinya dia sudah kalah diawal peperangan. Mengalah untuk menang, karna kalah tidak selamanya menjadi sosok si payah. Halaman 125 yang di karang dan ditulis langsung oleh gadis di depan Ibu, jika pembaca saja bisa berubah pola pikirnya bagaimana dengan pencipta untaian kata itu sendiri?" Ibu Elsa tersenyum tipis melihat Nesya tergugu.
"Kamu anak yang berpotensi, berpikiran bijak, lugu, dan selalu butuh arahan. Itu sebabnya Raga mencintai mu. Mencintai bagaimana kamu bisa menolong dalam keadaan diri sendiri sulit, bisa bersinar dengan menuangkan segalanya lewat tulisan yang sederhana," lanjut Ibu berubah lembut, kesan Nesya guru BK ini menyebalkan apalagi ia selalu mendengarkannya mengomeli Raga. Simpulan tersebut salah.
"Ibu baca buku saya?" patah-patah keki bertanya.
"Atas rekomendasi dari Bunda Raga."
Mulut Nesya terkantup. "Bunda?"
"Beliau gadis tangguh, yang Ibu selalu kagum setiap melihatnya. Bunda Raga bukan datang untuk anak laki-lakinya itu, dia datang hanya untuk membanggakan mu pada pada saya Nesya, membuktikan sehebat apa gadis yang puteranya amat cinta, meski Ibu sendiri masih sedikit kesulitan mengerti... tapi itu lah kasih sayangnya, sayang sebagai Ibu."
Maka sepotong kalimat Bu Elsa membawa Nesya terduduk di masa lalu tepatnya perpustakaan saat membahas pentingnya menghargai usaha anak.
Raga-nya Bunda.
Bukan tidak sadar Nesya hanya mengira dulu ucapan itu hanya sekedar gumaman, meski jujur hatinya sedikit merasa janggal.
"Mungkin saya kurang sopan, tapi cukup jawab iya atau engga aja bu.... Raga dan bundanya beneran punya isu, bukannya dia anak penurut, bu?" tanya Nesya takut-takut.
Jari-jari tangan Ibu yang berada di meja bertaut, menatap takzim bongkahan penasaran yang berdesir di bola mata Nesya.
Ibu memulai awal cerita dengan tarikan nafas panjang.
"Satu tahun silam...."
Derap langkah seluruh anak menggema di koridor menuju aula, teriakan mereka berseling dengan suara dari speaker.
"HARAP KUMPUL DI AULA MENGIKUTI ARAHAN GURU, JANGAN ADA YANG KELUAR, TETAP DI DALAM SEBELUM KEADAAN BISA DIKATAKAN AMAN!"
Bengis sekumpulan bandit-bandit sialan melempar batu, kaca jendela kelas kena sasaran. Pagar membentang tinggi terus mereka dorong, satu sampai enam mencoba naik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Testudines:Amongraga
Teen Fiction[Series stories F.3 familly] ⚠️Bisa dibaca terpisah⚠️ Ketika rumah bukan lagi tempat berpulang. "Anak perempuan yang selama hidupnya cuma dipertemuiin sama laki-laki bajingan bakalan ngerasa aneh saat yang tulus datang. Kepercayaannya rusak. Mental...