#4 INGATAN YANG MENDERU DALAM RINDU

119 108 38
                                    

Pagi dengan Matahari yang masih belum sirna sehingga membuat suasana masih terasa gelap. Fajar kadib yang muncul secara horizontal namun secara vertikal, cahayanya melintas di langit. Kemudian diiringi dengan munculnya gelap. Setelah itu datang sebuah fajar Sadiq yang cahayanya menyebar di cakrawala langit. Secara horizontal menandakan waktu Shalat isya' sudah habis secara waktu Jawas.

Aku masih malas bangun dari balutan sarung yang menutupi seluruh tubuh ini, tapi mengapa? ini memang kewajibanku, jadi tubuhku berusaha bangun dari kenyamanan yang telah menghantui. Mataku terbuka, pikiran ikut melayang mengingat saat bangun di rumah. Ah... aku buang saja itu dan mengalihkan pikiran yang sebenarnya, berada di bilik gubuk pesantren.

Lantunan ayat suci mulai terdengar merdu di suatu arah sepiker masjid. Suara itu bersumber dari Musallah yang memang biasa dilantunkan oleh seorang santri khusus yang mempunyai suara merdu. Ash-shalatu khairum minamnaum... Kemudian suara Muadzin cukup jelas di gendang telinga. Muadzin subuh juga tak lain dari kalangan santri. Musallah itu tak terlalu jauh dari kamarku kira-kira 20 meteran. Dengan cepat sebagian santri antusias melaksanakan berjamaah Shalat subuh. Tapi, suara Muadzin juga tidak bisa menggerakkan sebagian teman-teman santri. Ya mungkin mereka masih mengukir cerita tuk meraih mimpinya.

Aku terdiam, Masih ragu untuk menyentuh air yang sudah 5 senti di ujung jemari. Kemudian kutatap air jernih itu, bayangkan jika menuruti rasa dingin bisa-bisanya setan terkekeh menertawakanku cuman kalah dengan godaannya, tidak. Dengan bismillah aku bisa buang rasa ragu itu dan bisa membasahi wajahku dengan sucinya air wudu.

Selesai berwudu aku sambar sajadah yang tergeletak di gantungan pakaian dan meletakannya di tengkuk bahu. Tiba-tiba muncul seorang paruh baya di balik pohon yang berada di depan kamar, tak lain itu Ustaz Herman. Beliau adalah salah satu asatid yang ditugaskan untuk mengajari tentang masalah-masalah Fiqih. Juga, ia adalah ustaz yang paling disenangi oleh santri sebab ia selalu memberi cerita-cerita yang seru apalagi waktu balik pondok. Intinya top deh buat Ustaz Herman.

"Assalamualaikum." Ucap beliau.

"Waalaikumussalam Ustad." Ucapku.

"Kedinginan ya?" sambil melepaskan senyum hangatnya.

"Enggi Ustaz, dinginnya tak biasa."

Sejenak Angin subuh menghempas di depan wajah, mendatangkan suatu pikiran yang mengingatkan tentang ibu dan bapak.

"Kok bengong, monggo nak berangkat ke masjid sama-sama?"

"Eh... enggih, duluan Ustaz"

Ustaz Herman mendahului langkah kaki diiringi dengan langkahku. "sst.." mengingat kembali sesuatu di saat belum mondok sampai sekarang pun alasan kenapa bapak bercerai sama ibu. Ketika itu aku menginjak 15 tahun aku bulat untuk mondok. Selama itu dan sampai saat ini , yang jengukin aku selalu ibu. Bapak gak pernah jengukin sama sekali. Saat inilah aku baru sadar kalau bapak sudah mutusin pisah cuman karena istri muda barunya. Aku sedih, tapi aku gak nangis aku ngerasa kecewa, tapi bukan kehilangan karena aku tahu sejauh apapun jarak kita dengan orang tua, kita akan tetap jadi anaknya dan dia akan menjadi orang tuaku.

Langkah demi langkah hingga pikiran tadi hilang tersendiri. Setelah sampai di masjid, imam baru saja memulai Shalat dengan diawali dengan takbir disusul dengan surah al-fatihah dan An-nas. Ayat demi ayat terlantun dengan merdu. Hatiku tersentuh dengan bait-bait maknanya, melayang dengan embusan ilahiah.

Sepuluh menit sudah berlalu dengan selesainya zikir itu. Kedua tangan aku angkat, agar apa yang-Ku panjatkan bisa terkabulkan. Bagiku berdoa adalah suatu yang diperintah yang sudah tertera jelas di dalam surah Al-baqorah ayat 152 yang artinya:

"Karena itu ingatlah kamu padaku, niscaya aku ingat pula kepadamu dan bersyukurlah padaku dan janganlah kamu mengingkarinya. "

Ucapan pertama dalam doaku yaitu mendo 'akan orang tua terutama ibu. tapi sesekali aku teringat tergambar bayangan ibu tiap waktu bolak balik cuman untuk masa depanku. Sedikit demi sedikit butiran kristal yang tersimpan di balik daun kelopak mata ini keluar perlahan, karena tak sanggup membayangkan ibu sendirian berbanteng tulang. Terasa bungkam membiarkan tangisan ini hilang.

Tuhan tak tau lagi harus bagaimana

Ingin rasanya menggantikan hidup orang tua bila bisa

Kadang aku bingung tak mengerti

Dengan apa yang kulakukan

Siang malam aku bimbang

Bayanganmu selalu hadir

Betapa ingin tuk membahagiakannya

Semoga saja kau selalu sehat serta

Selalu lindungan Allah swt

Amin ya rabbal alamin

Puisi itu kuingat saat Ustaz Herman membacakannya di saat sambutan acara perpisahan kelas akhir yang setelah sekian kali aku mengingatkannya kembali hari ini.

Udara masih terasa sangat dingin sirna sang surya samar-samar terlihat sepi. Sesekali kicauan burung. Aku kembali ke kamar dengan tetap melangkah kaki, "Huft...." meskipun terasa lelah dengan rayuan setan yang mengendong di atas bahu ini aku berusaha tak mau kalah dengannya. Melintasi satu persatu kamar, tapi saat tiba di depan gang suatu kamar aku mendengar lirih suara rintihan tangisan. Tak tau dari mana datangnya, menoleh ke kanan hannya tampak tumpukan sampah dan ke kiri hanya sapu yang berjejer rapi.

Aku diam, mencari arah suara tersebut. Mendekati sebuah kamar yang cukup panjang. Di ujung kamar aku melihat seseorang santri kecil membungkuk, menutupi wajahnya. Rintihan tangis tak jua berhenti. Aku memperhatikannya kira-kira berumur sepuluh tahunan. Dia tak mengetahui kehadiranku. Aku ragu untuk menghampiri dan menegurnya, takut dia terkejut malah lari ketika melihatku. Melihat tersebut seperti adikku yang nangis bila tidak diberi uang jajan oleh ibu.

"Mungkin aku bisa menolongnya." Batinku. Terdengar dari rintihannya, ada nada yang begitu menyakitkan. Semakin tak tega melihatnya, jiwaku terpanggil untuk menghampiri dan bertanya kepadanya.

"Maaf... adek kenapa?" Tanyaku padanya.

Dia terkejut menatapku. Matanya masih dipenuhi benih air mata. Air mata kesedihan. Ia perlahan mengusapnya dan mulai menatapku dengan apa yang-Ku pakai dan ia akhirnya buka suara.

"Ibu Kak," jawab singkat dia.

"Em.. ada apa dengan ibu adek? Coba cerita!"

Wajah santri kecil itu menceritakan musibah yang selalu ingat kejadian minggu yang lalu. Saat itu dia dipanggil sama salah satu asatid pesantren yang ia tak kenal. Dia bingung gak ada masalah apa-apa tetapi ia tetap di panggil. Perasaannya langsung gak enak. Ternyata pamanya telepon untuk kasih tahu kalau ibunya meninggal. Jelas, ia nangis sejadi- jadinya sampai sekarang pun ia masih teringat.

"Kenapa sih Kak...ibuku masih sehat, tidak sakit apa-apa tuhan sudah memanggilnya kak... kenapa kak, kenapa?" Ia mengadu seakan ia tak terima apa yang sudah menimpanya.

Melihat hal itu, aku jadi teringat dengan sebuah penjelasan Ustaz Herman yang ketika itu sama dengan pengaduan santri kecil itu dan membuatku mampu mengucapkannya kembali. "Husnuddon minallah wa bilhukillah berbaik sangkalah pada tuhanmu juga pada ciptaannya. Adek... semunya itu tergantung kita menyikapinya. Baik itu masalah yang kita hadapi mengenakan atau sebaliknya, kita harus menerimanya dan menyikapi dengan baik. Syaihk Imam Syafii dek.. pernah mengucapkan kalau yang namanya kesedihan dan kebahagiaan itu kita pasti memilikinya" aku menarik nafas dalam-dalam dan melanjutkannya kembali. "jadi Adek, jangan pernah berprasangka buruk pada tuhan sekalipun . siapa tahu tuhan memanggil ibu adek untuk ditempatkan di surga" kemudian ia diam tertunduk dan aku langsung mengelus pundaknya.

Itulah manusia memang memiliki kemampuan yang luar biasa. Memegang otak yang sangat kompleks serta memiliki kapasitas memori yang tidak akan pernah penuh. Sehingga hal-hal yang telah berlalu dan semua hal akan terjadi akan tersimpan dalam pikiran kita, akan menjadi daya tarik ingatan kita.

SEBUAH INSPIRASI DARI PENULIS (ANTOLOGI CERPEN) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang