#6 TAPAK SANG ANAK GAZA

111 94 16
                                    

Namaku Mahmed As-Sauqi. Aku dilahirkan di sebuah kota bernama HAMAS GAZA. Aku anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Menhi Zain dan Siti Faiqoh. Aku sangat berbeda dengan yang lain, keluargaku memiliki rambut hitam, kelopak mata lurus dan kulit putih kekuningan. Sementara aku, memiliki rambut cokelat, mata bulat, sedikit kekurangan pada jari-jari tangan dan sama sekali tidak terlihat seperti keluargaku lainnya.

Dalam hati aku terharu, senang melihat Abi semangat dalam berternak. Sayangnya Abi tidak berminat satu kali pun mengajariku tentang hal-hal berternak. Aneh, padahal Abi sangat rutin merabat dan memelihara para binatang ternaknya serta anak-anaknya. Mungkin Abi ingin aku beda dengannya.

Pada awalnya, aku berpikir badai datang. Tetapi langit di luar tampak cerah dan terang. Ternyata di kejauhan terdengar suara gemuruh ledakan seperti petasan api di malam tahun baru. Kadang, 1-3 rumah rakyat sipil diruntuhkan bulldozer dengan suara gemuruh di arah kejauhan. Kami-keluarga tidak banyak bicara, mencoba menjalani kehidupan ini dengan segetir doa'. Namun sesekali muncul kejadian seperti itu. Merasa takut bahkan Vier-saudaraku yang kecil terbangun. Orang–orang setempat berlarian di jalanan, berteriak "tolong-tolong" dan bertangisan. Aku yakin pasti itu ulah tentara hitam. Sekarang ini aku tahu, kalau saat itu hanya kami merasa takut. Di luar orang-orang masih berteriak, tapi Umi yang berada disebalah Vier masih terus melantunkan ayat suci alquran: Yasin walqur'anil hakim-. Kadang sampai sesuatu semua yang terjadi setelah itu, aku bisa mendengarkan lantunan ayat Umi kembali.

Lepas itu tak seorang pun tahu apa yang terjadi di luar. Orang-orang sudah tidak teriak lagi minta tolong. Umi berpikir Abi sedang berada di bawah, mengintip melalui cela-cela gorden, menunggu para seragam hitam pergi. Benar dugaan Umi, Abi pergi ke bawah agar bisa melihat dan mengatakan kepada kami saat keadaan sudah tenang. Kemudian sesuatu menarik perhatiannya Abi. Abi melihat segumpalan asap tebal dari dalam gudang. "Hati-hati Abi," ucap umi di celah-celah gorden. Abi cuman memberi Isyaroh untuk bisa mempercainya. Kami bukan petani, namun kebanyakan dari desa kami memelihara binatang kuda. Dan kini pada larut sore Abi cuman bisa melihat asap. Pasti seragam hitam itu telah melemparkan gas obor atau bisa jadi para perampok desa. Entah itu benar atau salah, Abi hanya berpikir untuk menyelamatkan binatang-binatang ternak, kemudian Abi berlari ke gudang untuk memastikannya.

Aku tidak tahu kapan pertama menyadari apa yang sedang terjadi, tetapi umi tiba tiba berseru "Abi" kemudian Umi menyalai api. "Abi" saat tidak ada jawaban Umi coba menghampiri, menuruni satu persatu tangga. Aku dan Vier melihat dari jendela ketika Umi berlari keluar rumah menuju gudang.

Umi menarik sesuatu membungkuk seakan-akan sedang menarik sekarung benih dari gudang. Dalam kegelapan Umi hampir tidak mungkin melihat bahwa sesungguhnya Umi sedang menarik pergelangan kaki seseorang. Vier yang pertama kali berhasil mengenali sosok itu "itu Abi" ucapnya.

Aku tidak pernah tahu dengan pasti apa penyebab sebenarnya. Mungkin asap itu terlalu tebal membuat kepala Abi terantuk palang kayu. Atau mungkin seorang para seragam hitam telah memukul kepalanya dengan besi atau mungkin dengan senjata tembaknya. Atau mungkin juga disebabkan oleh para perampok desa. Apa pun yang terjadi, Umi terlambat.

Aku dan Vier langsung menghampiri Umi keluar rumah. Aku melihat jelas tubuh Abi, sisihan bekas darah begitu dalam membanjiri, nafas Abi tidak lagi mendengus. "Abi... jangan tinggalkan kami. Abi.. kami butuh Abi, Abi kami sayang Abi, Abi... bangun Abi, bangun" ucap Umi, dengan cucuran air matanya terus mengalir begitu juga dengan aku dan Vier tidak bisa menahan isakan air mata ini.

@@@

Umi menjadi orang yang berbeda setelah kejadian Abi. Umi membiarkan tergerai, baju yang dipakainya kadang-kadang kotor. Umi terkadang mengenakan baju yang sama selama berhari-hari. Umi tidak lagi seperti hari-hari sebelumnya Disaat Abi masih ada, selalu bercanda dan bergurau. Dan bila tersenyum, yang terlihat adalah senyuman aneh tanpa bentuk yang dihiasi rasa penyesalan dan rasa sedih.

"Kring. Kring," bel pintu berbunyi dan umi yang menghampirinya. Aku mengikutinya di belakang Umi sampai ke ambang pintu. "Anda memiliki waktu 30 menit untuk membereskan barang-barang Anda. Anda akan di pindah ke Jarussalem." Pria berjas mengucapkan itu kepada Umi dan aku yang berada ambang belakang pintu mendengarkannya. Kemudian pria berjas itu keluar menyusuri pintu rumah yang lain.

"Mahmed cepat sana bajunya lipat dan masukkan ke koper sekalian juga punyanya Vier" suruh umi setelah membalikkan badannya dari pintu.

Saat itulah Umi memutuskan untuk tidak bisa tinggal ditempati ini lagi. Bersyukur Umi masih memiliki sepupu yang tinggal di kota Jarussalem. Tempatnya cukup banyak orang Islam melainkan satu diantara sekian ribu. Kurasa Umi berpikir kalo banyak jumlah orang Islam akan memberikan keamanan yang aman.

Kami tiba di kota Jarussalem saat aku berusia 11 tahun dan aku memiliki berbagai kenangan yang menyenangkan pada dua tahun pertama tinggal di sana. Kemarin pagi aku dan Vier pergi ke sekolah yang agak jauh dari tempat kami tinggal. Meskipun, Vier bukan anakku tapi melainkan saudara kandung, aku selalu mengecek nilai pelajarannya setiap pulang sekolah sama seperti dulu Abi masih ada, Abi selalu mengecek nilai pelajaranku. Alhamdulillah Vier bisa mendapatkan kemampuannya berbahasa asing dan terkadang ia selalu juara di saat mewakili sekolahannya. Dari situ juga Umi sudah mulai kembali lagi ke dulu bercanda, tertawa bersama kami dan tidak lagi merasa kesedihan.

@@@

Hari ini cuaca cukup panas. Cahaya matahari sangat hangat seolah-olah akan mengeringkan kelembapan yang terjadi akibat musim dingin yang panjang. Aku dan teman-teman bermain di jalanan seperti biasa berlarian-larian dan lompat-lompatan. Sementara Vier ikut bersama umi pergi ke pasar membeli lauk pauk untuk makan malam nanti. "Mahmed... main lempar bola yuk," seorang anak setinggi badan mengajakku. "Ayo." jawabku. Kemudian aku sama temen-temenpun langsung bermain lempar bola dengan kegirangan hati yang tak terasakan. 2 menit berlalu terlihat seorang laki-laki, kekar, besar mengenakan seragam aneh, seragam yang tidak pernah kulihat dan yang pasti itu bukan seragam hitam. Tapi melainkan sergam hijau dan hitam bercampur, dengan bendera negara di lengannya seperti ban lengan yang diikat. Aku sangat teliti melihatnya, ia menyulut sebatang rokok dan mengembuskannya kemudian melihat ke sekelilingnya sambil memegang senjata panjang. Hati terasa berdegup kencang khawatir takut dia seorang pembunuh ditambah ia menghampiriku dengan pandangan yang datar dan bertanya.

"Dimana orang tuamu?" Tanya ia sambil mengelus rambut kepalaku.

"Aku yatim, Umi menemani adik pak." Jawabku.

"Apa yang terjadi kepada abimu."

"Orang berseragam hitam pak."

"Oo.., ini bapak berikan roti untukmu dan langsung pulang ke rumah dan ajak temen-temenmu" Bapak itu mengambil roti dari tas ransel yang ia pakai dan memberikannya kepadaku.

Aku yakin, pasti bapak ini adalah keamanan negara gumamku

"i-iya Pak."

Kemudian aku bersama teman-teman berlari pergi ke rumah masing-masing dengan sekencang mungkin. Melesat keluar masuk gang rumah orang, menghindar takut ada orang berseragam hitam. Tepat diluar rumah petak yang aku diami, aku menemui umi bersama Vier disana. Umi sangat lega saat melihatku dan memelukku ketika sampai diahadapan Umi, begitu pun juga Vier ikut berpelukan.

Hari mulai larut, aku mengamati umi memotong sebuah roti menjadi beberapa potongan. Kemudian membagikannya kepadaku dan juga kepada vier. Perlahan roti yang ada genggamanku habis demi sedikit dan begitu juga roti Vier.

"Mahmed, Vier lepas nih langsung tidur?"

"Iya, Ummi." Disisi itu aku dan Vier bersamaan menjawabnya. Dan kami berdua pun langsung beranjak pergi ke ranjang masing-masing.

Sebelum aku pejamkan mata, ingatan kembali mengingat tentang suasana pagi kemarin tampak tentara- tentara negara bersenjata berbaris dengan sigap di luar rumah. Sedang melaksanakan tugasnya dengan penuh kegigihan dan kesemangatan. Dan anak-anak di luar sana menjulurkan tubuhnya, tersenyum dan melambai tangan, melemparkan bunga kepada tentara tersebut tak lain untuk memberi kesemangatan kepada mereka. Kemudian aku Kejam kan mata sejenak, seakan berdoa dalam hati semoga besok tetap dengan suasana kemarin. Amin ya rabbal alamin

SEBUAH INSPIRASI DARI PENULIS (ANTOLOGI CERPEN) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang