#19 ANTARA PENJAGA DAN SASTRA

4 1 0
                                    

Ruang berjuta imajinasi

Cakrawala langit biru mulai membentang penjuru semesta alam. Pagi-pagi cahaya mentari mulai menyembul, menggelitik sela-sela hamparan jendela. Sedikit demi sedikit kilau mentari meraki ke segala sudut benda yang berada dalam ruang berjuta imajinasi. Menuai kilau di antara gulita yang baru saja berlalu dengan bersamaan tandangnya desiran angin malam.

Sang berjuta ragam inspirasi (buku-buku) pun telah berkomat-kamit, seakan berdoa meminta sesuatu datang yang belum tentu itu kepastian. Namun dengan pasti mereka telah menaruh asa besar di pagi ini akan ada satu di antara juta insan yang menyapanya, apalagi bisa membawanya pulang.

###

"Kring. Kring.. pukul 06:00 Kring. Kring. Waktunya bangun!"

Alarm jam beker seorang berdentang nyaring menghiasi keheningan. Menyerang alunan di sudut pergelangan tangan seorang penjaga ruangan. Dengan berat berbinar, dua kelopak mata penjaga terbuka. Mulai menerawang keberadaan sekitar. Membelalak ke arah tumpuan yang sedari tadi bergoyang, seolah menyuruh bangun dan segera melaksanakan kewajibannya.

Setumpuk pekerjaan sudah menanti. Pada jam se pagi ini, seorang penjaga mulai menggerakkan rongga-roga badan. Guna mengawali pagi tuk menghadapi pekerjaan yang terjejer rapi. Bangun, mandi pagi, ganti baju dengan rapi, menyapu, mengepel, mengelap, buka gorden, melayani dan masih banyak yang tercantum dalam daftar isi. Baginya kesibukan yang harus diselesaikan adalah makanan-makanan ringan yang siap untuk ia makan.

Terbiasa akan keadaan, akan mampu di luar kebiasaan.

Sabtu pagi di Perpustakan

Laki-laki berusia 20 tahunan itu sedang membersihkan serpihan-serpihan debu yang menempel di langit jendela dengan berbekal kemucing melingkar di tangan kanan. Digerakkannya menyusuri satu persatu lorong kotoran. Sesekali bola matanya menatap benda-benda hidup yang mulai mengawali aktivitas pagi. Dalam hati, penjaga menaruh asa semoga di hari yang cerah ini melebihi dari hari-hari kemarin. Sambil menengadahkan tangan ke arah dadanya.

Beberapa menit kemudian, kepalanya mencoba berputar ke arah belakang. Tepat tujuannya ke rak-rak buku. Sembari menatap salah satu buku bersampul kuning. Tersenyum dengan sendiri seakan baru saja membalas senyuman seseorang yang telah lama ia tak jumpai.

"Hai penjaga?" Sapa buku kuning tersebut dari kejauhan membuat penjaga tertegun.

"Hai juga cerpen." Balas penjaga dengan sebutan cerpen. Ya, buku kuning tersebut memang berisi kumpulan cerpen.

"Semoga kau selalu diberi kesehatan dan kebaikan oleh Tuhan." Tambahnya dengan kalimat yang penuh kata doa.

"Amin.. kau juga. Semoga engkau terus melahirkan bibit karya yang akan selalu dikenang di setiap zaman dan para insan semakin banyak mencintaimu." Balas lagi penjaga dengan lirih.

Sudah beberapa bulan terakhir buku kuning itu jarang kelihatan oleh penjaga dibaca atau sekedar dipegang oleh para insan. Beberapa orang hanya melewati kala berhadapan dengannya. Mengabaikan tanpa ada rasa ingin kenal atau tahu kalau dia merupakan hasil dari buah pena sastra, yang mana hampir terlenyapkan. Tapi tidak semua, bersyukur masih ada sebagian kecil insan pencinta sastra yang terus berkobar menciptakan pena untuk mencegah ancaman yang bisa menghirapkan tersebut.

Mungkin di setiap hari-harinya, penjaga terbiasa berkomunikasi dengan beragam macam buku. Entah sekedar menyapa dan saling sapa. Baginya ia anggap semua buku pasti mempunyai perasaan selayaknya makhluk hidup. Terutama akhir-akhir ini, penderitaan terhadap minimnya minat baca membuat penjaga semakin khawatir akan tentang nasib bangsa kedepannya. Ditambah penjaga memang merupakan seorang pengamat literasi yang masih tidak terlalu tenar.

SEBUAH INSPIRASI DARI PENULIS (ANTOLOGI CERPEN) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang