Saat matahari terbit, mata lelaki mungil itu terbuka. Lengan putihnya segera ia angkat untuk menutupi kedua kelopak matanya.
"Mimpi itu lagi..." gumamnya pelan.
Sinar matahari pagi membangunkannya. Matanya yang sayu memberikan keindahan tersendiri di wajahnya. Sinar matahari menyeruak masuk melalui celah-celah jendela kamarnya yang hanya dilapisi oleh tirai usang berwarna hijau pastel.
Levi menghela nafasnya. Lelaki manis itu menarik dirinya agar duduk. Ia mengusak matanya pelan bagaikan seorang anak kecil. Ia menguap. Perlahan, ia bangkit dari tidurnya, mencari baju untuk dikenakannya hari ini.
"Levi," panggil seseorang begitu Levi menapakkan kakinya di ruang tengah.
Matanya segera terpaku pada sosok wanita cantik yang duduk di sofa marun tua miliknya.
"Ibu," kata Levi pelan.
Ibunya, Kuchel Ackerman, tersenyum lembut. Ia menepuk sofa di sisinya dengan lembut, menyuruh Levi untuk duduk di sana.
"Bagaimana keadaan Ibu? Kenapa Ibu ada di sini?" tanya Levi.
Ekspresi cemas dilayangkan Levi pada Kuchel. Wanita berambut hitam itu tertawa kecil. Levi-nya sudah besar.
Begitu anak lelakinya duduk di sisinya, Kuchel menyentuhkan tangannya ke pipi Levi. Pipinya tembam, kulitnya putih mulus bagaikan porselen, bibirnya ranum dan cantik. Levi memang putranya.
"Kenapa kau mencemaskan wanita yang sudah tua ini Levi? Sayang, kenapa kau tidak ingin tinggal bersama Ibu? Bersama dengan Paman dan..."
"Ibu... kita sudah pernah membicarakan ini," kata Levi sambil menarik nafasnya dalam.
"Levi... dia pasti bisa menerimamu sayang," Kuchel menyentuhkan jemari hangatnya pada Levi.
"Ibu, aku tidak bisa..." lirih Levi.
Kuchel terdiam mendengar penuturan putranya. Ia meraih rambut Levi yang dipotong begitu pendek, menyibakkan sebelah rambutnya dan menatap Levi penuh kesedihan.
"Pulanglah saat kau ingin pulang Levi. Ibu akan menunggumu."
.
.
.
Banyak hal yang Levi dengar di dalam ruangan besar dan ramai itu. Dentingan antara alat-alat makan, suara pertemuan antara lantai dan sepatu pantofel atau sepatu hak tinggi mahal, gelas-gelas yang berdenting, bisikan dan suara-suara orang yang mengobrol. Levi melekukkan tubuhnya dengan lihai melewati dua orang berpakaian mahal yang saling membelakangi.
Levi mengangkat nampannya agar tidak menyenggol siapa pun. Sedikit kesalahan dan ia akan dimarahi habis-habisan. Begitu naman yang ia gunakan untuk membawa anggur itu telah kosong, Levi menghembuskan nafasnya lega.
"Oi! Bersihkan piring kotor di sana!" seru kepala pelayan acara itu.
Levi menunjuk dirinya sendiri dengan ragu. Namun, saat mendapat tatapan tajam dari kepala pelayan itu, Levi segera melakukannya. Dipenuhi kekesalan, Levi berjalan menghentak-hentakkan kakinya menuju ke tempat piring-piring kotor itu.
"Setidaknya aku mendapat uang setelah ini," gerutunya pelan.
Saat Levi baru saja akan mengangkat nampan penuh piring-piring kotornya, sebuah gelas tersodor di depan wajahnya. Levi mengangkat kepalanya untuk melihat siapa yang menyodorkan gelas itu. Matanya melebar saat ia melihat lelaki berambut ash brown yang dikenalnya sedang berdiri di seberang meja, mengenakan tuxedo mahalnya. Lelaki itu kembali menarik tangannya, lalu ia meletakkan satu jarinya ke bibirnya, menandakan agar Levi tetap diam dan kembali bekerja saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Never or Ever//EruRi
FanfictionSegelintir orang akan percaya pada kebahagiaan yang berlangsung selamanya. Namun, segelintir lainnya bahkan menolak arti kebahagiaan. Jika takdir tidak sedemikian kejamnya, Levi Ackerman akan selalu percaya pada orang yang dikasihinya. Jika takdir m...