Akhir-akhir ini, Erwin sangat disibukkan dengan urusan kantornya. Selain dari urusan kantornya, Erwin juga masih memiliki kewajiban mendampingi Armin. Saat ini, Armin sudah berada di penghujung perjalanan pendidikannya dan tengah bersiap untuk mencari pekerjaan. Bahkan, sebenarnya, saat ini Armin hanya perlu menunggu pengumuman kelulusannya.
Tentu saja, Armin tidak akan bekerja di perusahaan Erwin untuk sekarang. Erwin sendiri yang menegasi Armin untuk tidak terlena dengan perusahaan Erwin. Daripada membesarkan Armin menjadi sosok yang manja dan bergantung pada perusahaan keluarga, Erwin lebih memilih bangkrut. Karena kesibukannya itu, Erwin jadi jarang sekali menghabiskan waktu dengan keluarganya.
Armin sendiri? Dia juga tidak masalah dengan penegasan Erwin. Kenyataannya, sejak kecil, Armin memang suka belajar. Armin juga sebenarnya ingin mengambil gelar profesor di kemudian hari jika dia memiliki kesempatan itu. Tapi, untuk sekarang, sepertinya Armin ingin berkutat membanggakan sosok yang telah membesarkannya itu dulu. Meski ketegasan itu ada, saat ini Armin juga tetap mempelajari perusahaan sang ayah, sesekali membantu bisnis keluarga tidak ada salahnya bukan?
"Kak, Papa mencarimu," suara serak nan datar yang dikenali Armin kemudian menyapa indra pendengarannya.
Begitu Armin menoleh, wajah adik bungsunya yang masih mengantuk menyapa. Itu Zeke, Zeke Ksaver Smith. Anak itu sekarang sudah beranjak remaja. Dia terlihat mengantuk dan meski usianya lebih muda dari Armin, rasanya tubuh Zeke sudah mirip kekarnya dengan Armin.
"Aku akan turun sebentar lagi. Mandilah dulu, Zeke," kata Armin pada adiknya.
Surai Zeke yang bergelombang terlihat acak-acakan, begitu tumbuh semakin besar, Zeke benar-benar menjadi jiplakan Erwin selain dari rambut dan warna matanya. Zeke bahkan mewarisi sifat dingin Erwin selain kepada keluarganya. Satu-satunya dari Levi yang menurun pada Zeke hanya bagian hitam rambut Zeke dan sebelah mata berwarna badai milik Zeke. Bahkan secara postur tubuh, Zeke dapat dikatakan lebih mirip dengan Erwin. Benar-benar gen yang kuat.
Tanpa banyak basa-basi, Zeke melangkah pergi. Kakinya membawanya ke kamar mandi sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Armin. Ah, tentu saja, Levi juga menurunkan sifatnya yang penurut pada Zeke. Seperginya Zeke dari sana, Armin meletakkan pena yang sedaritadi ia pegang. Ia membawa kertas yang berisikan data perusahaan yang harus diperiksanya. Dengan adanya kacamata yang bertengger di hidungnya, Armin benar-benar seperti Erwin muda.
"Armin, letakkan dulu kertas itu," ujar seseorang yang pastinya adalah Levi.
Armin tersenyum lebar begitu ia melihat sosok Papanya yang tengah menyiapkan sarapan. Tanpa basa-basi, Armin meletakkan kertas yang dibawanya di meja makan. Dihampirinya Levi sebelum kemudian ia mengecup pipi papa tersayangnya itu.
"Asa dimana, Pa?" tanya Armin saat tidak menemukan kehadiran Mikasa di sana.
"Ah, mungkin belum bangun. Tadi Zeke sudah lebih dulu kemari, makanya Papa minta dia memanggilmu, Armin," kata Levi.
Levi meletakkan nasi yang masih mengepul panas di meja. Setelah ia meletakkan nasi itu, mata badai Levi segera terarah pada Armin. Ditatapnya dengan seksama putra sulung yang balas menatapnya hangat.
"Benar-benar jiplakan Erwin," gumam Levi dengan senyuman kecil.
"Ya? Papa bilang apa barusan?" tanya Armin, sepertinya gumaman Levi tidak sampai ke telinganya.
"Tidak ada. Makanlah dulu, sepertinya Daddy kalian akan telat bangun hari ini," ungkap Levi setelah mengingat wajah Erwin yang begitu tenang tadi.
"Ah tidak, aku akan menunggu yang lain. Aku juga sudah menyuruh Zeke untuk mandi, pasti sebentar lagi dia datang. Kalau ditinggal makan masakan Papa duluan, dia pasti akan mengomel," kata Armin sambil tertawa kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Never or Ever//EruRi
FanfictionSegelintir orang akan percaya pada kebahagiaan yang berlangsung selamanya. Namun, segelintir lainnya bahkan menolak arti kebahagiaan. Jika takdir tidak sedemikian kejamnya, Levi Ackerman akan selalu percaya pada orang yang dikasihinya. Jika takdir m...