Levi terdiam di depan pintu apartemen yang gelap, ragu untuk masuk. Ia berharap akan menemukan Farlan di sana. Namun, begitu Levi menekan kombinasi angka di sana dan tidak menemukan Farlan, Levi hanya bisa terdiam di ambang pintu. Apartemen itu bahkan lebih gelap dari yang seharusnya. Tak satu pun lampu menyala meski hari sudah gelap.
Levi berjalan menyusuri apartemen itu. Dia menyesal. Dia sangat menyesal. Kenapa dia tidak langsung menghubungi Farlan saja saat itu? Levi bersandar di dinding, tubuhnya merusut dan doa jatuh terduduk dalam posisi lutut tertekuk. Semuanya kacau karena Erwin Smith. Dia kehilangan banyak hal lagi karena Erwin Smith.
Tiba-tiba, Levi teringat. Sosok anak kecil itu. Mata birunya yang bulat dan indah, rambut pirangnya yang lurus, hidung kecilnya yang kemerahan, dan badannya yang mungil. Levi teringat anak itu. Levi terdiam, menangkis pikirannya.
"Dia hanya mirip dengan Arlert," bisik Levi pelan.
Levi menengadah. Ia memejamkan matanya berusaha menahan air mata saat mengingat putra kecilnya yang lahir lima tahun lalu. Arlert... dia hanya ingat, Erwin mengatakan nama itu. Arlert, putranya.
Levi merogoh kantung celananya dengan cepat. Celana yang terlalu pendek dan ketat untuknya. Dia menarik ponselnya keluar dari sana dan memandangnya ragu. Untungnya, dia sempat membawa ini tanpa dicurigai Erwin sebelum dia pergi ke kediaman Eren. Tatapannya ragu, namun perlahan dia menekan tombol kombinasi angka untuk menghubungi seseorang.
Dengan tangan bergetar, Levi menekan tombol hijau di sana. Dia mendekatkan ponsel itu ke telinganya. Rasanya, ia ingin berlari ke rumah orang yang dia hubungi secepatnya. Dia ingin mendekap seluruh penghuni rumah itu, mengatakan dosanya, penyebab Farlan terbunuh.
<Alo~> suara kecil manis yang lembut segera terdengar.
Hati kecil Levi mencelos saat ia mendengar suara itu. Levi tidak tahan. Dia menangis, isakannya terdengar, membuat sang penerima telepon kebingungan.
<Buela, dia menangis!> teriak suara itu, suaranya menjauh, tapi Levi tidak bisa menahan tangisnya.
Levi menutup mulutnya sendiri merasa begitu berdosa akan apa yang telah dilakukannya. Dia sudah besar. Berapa lama Levi meninggalkannya?
<Halo? Siapa ini?> tanya Kuchel.
Levi segera mengendalikan dirinya sendiri. Perlahan ia bangkit berdiri, lalu dengan terhuyung ia berjalan keluar apartemen itu.
"Ibu?" bisik Levi.
<Levi? Astaga kaukah itu Sayang?!> pekik Kuchel.
"Ibu aku merindukan Ibu... hiks... Ibu..." isak Levi.
<Levi, sayang, apa yang terjadi? Kenapa kau menangis?> tanya Kuchel dengan nada khawatir.
"Hiks... Farlan..." bisiknya tidak jelas.
Levi menyandarkan pundaknya ke dinding. Rasanya... sakit.
"Ibu... aku tidak akan bisa bertemu atau bahkan pulang untuk beberapa waktu..." kata Levi.
<Apa yang terjadi Levi? Ada apa dengan Farlan? Kalian baik-baik sajakan?> tentu saja Kuchel langsung menghujani Levi dengan pertanyaannya.
Levi memejamkan matanya. Sedikit terisak, ia memaksakan kakinya untuk melangkah.
"Aku... tidak bisa mengatakannya sekarang Ibu. Maaf," lirih Levi.
<Levi... setidaknya temui dulu...>
Klik
Levi terdiam saat panggilan itu terputus. Matanya dengan nanar melihat ke arah ponselnya. Baterainya habis, bagus sekali. Dengan gontai dan pusing yang menerjang, Levi melangkah terhuyung menyusuri trotoar. Rasa sakit yang menyerang otot-otot tubuhnya baru terasa sekarang. Kepalanya begitu berputar selama ia berjalan tanpa arah dan tanpa tujuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Never or Ever//EruRi
FanfictionSegelintir orang akan percaya pada kebahagiaan yang berlangsung selamanya. Namun, segelintir lainnya bahkan menolak arti kebahagiaan. Jika takdir tidak sedemikian kejamnya, Levi Ackerman akan selalu percaya pada orang yang dikasihinya. Jika takdir m...