18-NoE

740 90 7
                                    

"Dia hanya perlu istirahat dan meminum obat ini. Ah, dan jangan bicarakan hal itu dulu di hadapannya, Tuan," kata sang psikiater sambil memberikan senyuman hangatnya.

Levi berjongkok dengan satu lututnya tertekuk menyentuh lantai. Melihat itu, Mikasa yang semula bermain dengan perawat di sana segera berlari ke Levi. Lelaki mungil itu memapah tubuh kecil Mikasa kemudian membungkuk sopan.

"Terima kasih," kata Levi.

Levi tersenyum lega saat mengetahui putrinya ini baik-baik saja. Keluar dari ruangan itu, Levi melihat ke sekelilingnya. Tidak ada siapa pun. Kemana Zeke?

"Papa," panggil Mikasa.

Mikasa memainkan rambut Levi yang mulai memanjang. Levi memiliki rambut hitam kelam indah yang ia turunkan pada Mikasa.

"Ya?" tanya Levi.

Levi mendesah pelan saat merasa Mikasa makin berat saja. Dia membenarkan posisi Mikasa juga agar anaknya itu lebih nyaman lagi.

"Paman Salu nakal, Mikasa tidak suka," kata Mikasa.

Levi meringis saat ia mendengar panggilan Mikasa untuk Zeke.

"Jangan begitu, dia sudah mengijinkan kita tinggal di rumahnya. Selain itu, dia juga sudah memberikan kita makanan," kata Levi.

Levi mengusap surai Mikasa. Dia menyelipkan rambut Mikasa ke belakang telinganya dengan lembut. Wajah Mikasa cantik sekali, Levi sampai gemas sendiri melihatnya.

"Papa, apa Mikasa punya Daddy sepelti Kak Almin?" tanya Mikasa.

Mata kelamnya menatap Levi penuh tanya. Jawaban yang ingin Levi berikan tiba-tiba saja tertahan di ujung lidah. Mata Levi bahkan tak sanggup menatap putrinya.

"Mikasa..." suara Levi tersekat.

Melihat tanda tanya besar yang diberikan Mikasa, Levi menghela nafasnya lalu mengangguk. Detik itu, Mikasa langsung memeluk Levi erat-erat. Ia menenggelamkan wajahnya yang memerah ke pundak Levi.

Rasa bersalah segera mengikis kegembiraan Levi melihat putrinya. Apa dia salah? Melindungi Mikasa dari ayahnya sendiri?

"Kau ini semakin berat saja," kekeh Levi.

Kekehan manis keluar dari Mikasa. Levi bersyukur, Mikasa sudah bisa tertawa seperti sebelum kejadian itu lagi. Levi bersyukur bagaimana dapat cepat Mikasa beradaptasi dengan semua itu. Dan sebenarnya, Levi bersyukur karena Mikasa sangat mirip dengannya. Terlalu mirip hingga Erwin bahkan tidak mengenalnya.

"Ugh, kemana Zeke..." gumam Levi.

Levi membawa Mikasa berjalan di sepanjang koridor untuk mencari Zeke. Tadi tiba-tiba saja Zeke mau mengantar mereka ke psikolog karena kondisi Mikasa yang semakin buruk. Jujur sebenarnya Levi merasa beruntung dia ditemukan oleh orang baik seperti Zeke. Setidaknya, begitulah Levi melihat Zeke.

"Papa, ayo main ke lumah Kak Almin, Mikasa mau belmain dengan Kak Almin lagi," rengek Mikasa.

Levi memberengut. Dia menggeleng.

"Tidak mau," kata Levi.

Tunggu. Siapa yang anak kecil di sini? Ah lupakan, mereka berdua sama-sama bayi.

"Kenapa?" rengek Mikasa.

Mikasa menghentak-hentakkan badannya membuat Levi terkejut. Levi segera mendudukkan dirinya, memangku Mikasa.

"Mikasa jangan begitu, nanti jatuh," keluh Levi.

Levi mengusap surai gadis itu, tapi gadis mungil itu malah membuang wajahnya sengan kesal. Melihat itu, Levi menghembuskan nafasnya. Mau bagaimanapun juga, Armin tetap kakaknya...

Never or Ever//EruRiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang