7 - Berpisah Kelas

58 19 56
                                    

Berpisah kelas dengan sahabat memang menyedihkan.

Tapi mau bagaimana lagi? Hasil tes telah menetapkan aku dan Marcell berpisah dengan Nath dan Daniel.

Pagi itu, dua hari setelah tes potensi akademik dilaksanakan, sekaligus menjadi awal tahun ajaran baru, aku berdiri mematung di depan papan pengumuman sekolah di samping Nath yang wajahnya menunjukkan rona bahagia. Dengan kedua tangan yang memegang tali ransel dan senyum lebar yang menampakkan giginya yang rapi, Nath bersorak di sampingku.

"Yessss!!! Masuk IPA, satu kelas sama Daniel lagi!!"

Sementara dia bersorak kegirangan, aku memaksakan sebuah senyum palsu. Lemas, khawatir, dan sedikit bumbu cemburu dengan rasa pahit sekaligus pedas. Gadis batinku memutar bola matanya di hadapan Nath.

"Selamat ya, Nath! You deserve it!" balasku.

"Makasih Joanaaaa! Kamu yang semangat ya! Meskipun pisah kita tetep bisa ke kan--eh Daniel! Kita sekelas lhoooo!" Nath langsung berlari meninggalkanku begitu melihat sosok Daniel yang masih mengundang tatapan kagum dari para siswa meskipun sudah memasuki tahun keduanya di sini.

Sahabatku itu sedikit berubah semenjak tak lagi bisa aktif di dunia tari modern. Sejak pulih dari cedera ACL dan aktif kembali di sekolah, sering kudapati Daniel mengintip latihan teman-teman ekskulnya dulu. Terkadang kudengar mereka mengucapkan kalimat yang tak seharunya diucapkan pada orang yang mimpinya pernah pupus karena cedera.

"Sayang banget sih, Dan. Kamu kena cedera lutut. Coba enggak, pasti masih bisa gabung sama kita!"

Kata-kata itu pernah membuat Daniel menyalahkan takdir. Seharusnya kalimat seperti itu tak pernah terucap.

Aku mendesah pasrah melihat interaksi Nath dan Daniel, membiarkan dua sahabatku itu asyik dengan obrolan mereka sendiri.

Sementara itu, gadis batinku terus menyemangatiku dengan pom-pomnya, menyerukan bahwa aku bisa melewati dua tahun terakhir masa SMA dengan bahagia.

Membalikkan tubuh hendak menuju kelas, tiba-tiba saja seseorang menarik ranselku dengan jahilnya sampai tubuhku tersentak ke belakang. Hendak memalingkan wajah dengan ekspresi senang--karena kukira itu Daniel--aku justru menunjukkan ekspresi masam. Ternyata aku salah. Itu Marcell, si anggota Geng Ceking yang paling jahil.

"Lah, kok mukanya ditekuk gitu, Jo? Masih ngarep masuk IPA ya? Halah, udah deh. IPS juga nggak jelek-jelek amat kok. Lihat aja deh, ntar giliran masuk kuliah, anak IPA bakal pindah haluan ke IPS!" kata Marcell menyemangatiku. Kami lantas berjalan bersama menuju kelas dan memilih bangku di barisan tengah. Marcell kini menjadi teman sebangkuku.

Tidak, tidak. Bukannya aku tidak suka masuk ke kelas IPS. Aku memang tak begitu menaruh minat pada angka, fisika, kimia, dan sejenisnya. Aku benci berhitung dan lebih suka mengamati realitas sosial. Hanya saja... berpisah dari Nath dan Daniel membuatku takut. Takut bahwa nantinya jarak di antara kami makin melebar seiring berjalannya waktu. Takut bahwa nantinya aku tak lagi punya alasan menghubungi Daniel karena jelas tugas sekolah kami berbeda. Takut dengan kenyataan bahwa Nath dan Daniel semakin dekat, dan satu lagi... jiwa introverku meronta ketika harus beradaptasi di lingkungan baru, dengan wajah-wajah baru.

Aku tak begitu peduli dengan stereotip yang berkembang di kalangan para pelajar SMA bahwa kasta anak IPA lebih tinggi dari anak IPS. Masa bodoh. Selama aku menyukai ilmunya, kasta bukan masalah.

Pada akhirnya, kucoba merubah ekspresi masamku menjadi senyum dan duduk manis di bangku sekolah yang sudah dipoles ulang menjadi lebih mengkilap. Bau cat baru tercium di ruang kelas ini, dan suara-suara murid yang asyik ngobrol mendominasi.

Kelabu AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang